Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mendapat kunjungan dari rombongan mahasiswa dan dosen. Kali ini, sebanyak 106 mahasiswa dari Program Studi (Prodi) Hukum Ekonomi Islam, Hukum Keluarga, serta Ilmu Al Quran dan Tafsir dari Universitas Sains Al Quran Wonosobo Jawa Tengah yang mengunjungi MK. Dengan didampingi tujuh orang dosen, para mahasiswa menerima paparan materi seputar MK yang disampaikan oleh Peneliti MK Helmi Kasim.
Mengawali paparannya, Helmi mengatakan MK merupakan penafsir Konstitusi. “Tiap hari pekerjaan MK bergelut dengan tafsir Konstitusi berdasarkan permohonan yang diajukan oleh warga negara Indonesia,” ujar Helmi membuka percakapan.
Helmi pun berpendapat penafsiran terbaik yang harus dilakukan oleh MK yakni penafsiran dengan sistematis sesuai cara menafsirkan Al Quran. Helmi pun menganalogikan bahwa saat menafsirkan Al Quran diperlukan pula penafsiran terhadap ayat-ayat lainnya. Kalau tidak ditemukan tafsirnya pada ayat-ayat lainnya dalam Al Quran maka penafsiran boleh turun dengan mendasarkan hadis.
Selain sebagai penafsir Konstitusi, MK hadir dalam sistem ketatanegaraan Indonesia untuk menjaga demokrasi, menjaga HAM, dan menegakkan Konstitusi. Hal tersebut sesuai dengan cita-cita pembentukan MK yang sudah tercetus sejak awal kemerdekaan Indonesia. Tepatnya, saat sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Mohammad Yamin sebagai salah satu Bapak Bangsa mengusulkan dibentuk Balai Agung yang salah satu kewenangannya dapat menguji undang-undang terhadap Konstitusi.
Dalam kesempatan yang sama, Helmi juga menyampaikan kewenangan dan kewajiban yang dimiliki MK. Terdapat empat kewenangan dan satu kewajiban yang dimiliki MK. Empat kewenangan dimaksud, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (PUU), memutus sengketa kewenangan lembaga (SKLN), memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (PHPU). Sedangkan satu kewajiban yang dimiliki MK yaitu wajib memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berat, perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Hal tersebut diamanatkan oleh Pasal 7 dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945.
“Dua kewenangan yang belum dilaksanakan oleh MK yaitu membubarkan Parpol dan impeachment. Mudah-mudahan impeachment tidak pernah terjadi karena akan menjadi preseden buruk bagi kehidupan ketatanegaraan kita. Kalau terjadi, kita tarik dari mekanisme politik ke mekanisme hukum di MK,” jelas Hilmi.
Sedangkan terkait kewenangan pembubaran Parpol yang belum pernah ditangani MK menurut Helmi disebabkan syarat pihak yang boleh mengajukan permohonan hanyalah Pemerintah. Kalau Pemerintah menganggap ada Parpol yang ideologinya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 maka Pemerintah bisa memohon ke MK untuk membubarkan Parpol tersebut.
Sementara itu, kewenangan yang paling banyak ditangani perkaranya oleh MK yaitu PUU. Helmi menjelaskan bahwa pada orde lama dan orde baru, norma dalam undang-undang tidak bisa dipersoalkan. Kalau DPR bersama-sama dengan Pemerintah sudah membuat undang-undang, maka tidak bisa dilakukan upaya pengujian apa pun. “Paling mungkin yang bisa lakukan pada saat itu yaitu memohon kepada DPR dan Pemerintah untuk melakukan legislatif review. Mahkamah Agung (MA) saat itu juga tidak punya kewenangan untuk melakukan judicial review seperti yang dilakukan MK (PUU, red),” papar Helmi.
Lebih lanjut Helmi mengatakan PUU dapat dilakukan bila Pemohon yang merupakan warga negara Indonesia menganggap suatu norma atau pun keseluruhan undang-undang bertentangan dengan Konstitusi. Atau dengan kata lain, bila seseorang warga negara Indonesia menganggap hak konstitusionalnya dilanggar oleh suatu norma dalam undang-undang maka bisa mengajukan judicial review ke MK. (Yusti Nurul Agustin)