Sidang uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang kembali digelar dengan agenda perbaikan permohonan, pada Selasa (31/3) siang, di ruang sidang pleno MK. Perkara yang teregistrasi dengan nomor 33-34/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh Adnan Purichta Ichsan dan Aji Sumarno yang merupakan anak dan menantu bupati.
Heru Widodo, selaku kuasa hukum Adnan Purichta Ichsan menyampaikan sudah melakukan perbaikan permohonan sesuai dengan saran dari majelis panel pada sidang sebelumnya. Pada kesempatan itu, Heru menegaskan bahwa pasal yang diuji adalah Pasal 7 huruf r beserta penjelasannya dan Pasal 7 huruf s UU a quo. Berkaitan dengan alasan permohonan, lanjut Heru, terdapat perbaikan yakni dipersempitnya partisipasi politik Pemohon dan seluruh warga Indonesia yang berstatus sebagai keluarga petahana. Selain itu, Heru juga menyampaikan bahwa terdapat pembatasan dan stigmatisasi terhadap keluarga petahana, padahal pencalonan Pemohon tidak sama sekali mengganggu hak dan kebebasan orang lain.
“Tidak seorang pun dirugikan haknya apabila Pemohon mempunyai hubungan keluarga dengan petahana maju sebagai calon kepala daerah dan tidak ada nilai moral ataupun nilai agama serta keamanan dan ketertiban umum dengan adanya pencalonan Pemohon,” papar Heru di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Lebih lanjut, terkait dengan alasan permohonan, Heru juga menyatakan adanya diskriminasi dan inskonsistensi pembentuk undang-undang. Diskriminasi terjadi karena Pasal 7 hurf r UU a quo melarang Pemohon yang merupakan keluarga petahana untuk mecalonkan diri sebagai kepala daerah. Sedangkan Inkonsitensi terjadi karena dalam peraturan perundang-undangan lainnya telah menyebutkan mengenai definisi konflik kepentingan.
“Konflik Kepentingan adalah kondisi Pejabat Pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan Wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya,” papar Heru dengan mengutip Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
Selain itu, menurut Heru, inkonsistensi juga terjadi karena pembentuk undang-undang tidak memberikan definisi istilah petahana. Tidak adanya definisi petahana, lanjut Heru, bisa menjadi multitafsir, karena petahana bisa diartikan pimpinan di tingkat legislatif maupun yudikatif.
Alasan permohonan yang lain yakni adanya pembatasan terhadap keluarga petahana yang bertentangan dengan prinsip pemilihan kepala daerah yang demokratis. Lebih lanjut, keberadaan penjelasan Pasal 7 huruf r UU a quo telah memuat norma baru yang berbeda dengan norma pasalnya. “Padahal, fungsi dari penjelesan suatu pasal merupakan tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh,” kata Heru.
Meskipun pada sidang sebelumnya Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna sempat mengingatkan bahwa ketentuan pencalonan anggota legislatif yang hanya dengan melakukan pemberitahuan adalah menguntungkan Pemohon. Namun Pemohon tetap mencantumkan Pasal 7 huruf s sebagai obyek pengujian. Heru mendalilkan bahwa potensi kerugian yang ditanggung Pemohon adalah cukup besar. Menurut Heru, Pemohon dapat sewaktu-waktu diganti oleh partai, tempat Pemohon dicalonkan dari keanggotaan DPRD. Jika hal tersebut terjadi, lanjut Heru, tentu saja norma aturan atau pasal yang diuji berpotensi merugikan Pemohon.
Selain itu, meskipun pada sidang sebelumnya Hakim Konstitusi Maria Farida mengingatkan bahwa MK selama ini tidak memberikan prioritas pemeriksaan perkara, namun Pemohon tetap memohon agar pemeriksaan perkaranya diprioritaskan dan menjatuhkan putusan sebelum dimulainya tahapan pendaftaran bakal pasangan calon dalam Pilkada serentak tahun 2015.
“Kami mohon dalam permohonan prioritas mengabulkan permohonan Pemohon untuk memprioritaskan pemeriksaan perkara a quo dan menjatuhkan putusan sebelum dimulainya tahapan pendaftaran bakal pasangan calon dalam pemilukada serentak tahun 2015,” kata Heru.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar majelis hakim mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Selain itu, juga meminta agar Pasal 7 huruf r dan Pasal 7 huruf s UU a quo beserta penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sementara itu, Aji Sumarno diwakili kuasa hukumnya, Mappinawang menyatakan telah melakukan perbaikan permohonan terkait dengan penamaan atau judul, petitum, dan penambahan tentang definisi mengenai konflik kepentingan. “Selain dan selebihnya kami tetap pada permohonan semula dan tidak ada perubahan yang signifikan,” pungkas Mappinawang.
Setelah mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan dan mengesahkan alat bukti, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyatakan menerima perbaikan dan selanjutnya akan melaporkan hasil ke Rapat Permusyawaratan Hakim. “Ya, baik, kalau tidak ada hal-hal yang perlu ditambahkan lagi perbaikan sudah kita terima dan nanti akan kita laporkan ke Rapat Permusyawaratan Hakim,” tutur Wahiduddin. (Triya IR).