Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) yang diajukan oleh para buruh, yakni Muhammad Hafidz, dkk, pada Selasa (31/3) siang, di ruang sidang pleno MK. Sidang perkara yang teregistrasi dengan Nomor 20/PUU-XII/2015 ini beragenda mendengarkan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Ahli Pemohon.
Dalam keterangannya, Didik Mukrianto mewakili DPR menyampaikan bahwa UU PPHI merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yakni Pasal 136 ayat (2) UU a quo. Lebih lanjut, Didik mengungkapkan UU PPHI dibentuk untuk mengatur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang disebabkan oleh perbedaan pendapat atau kepentingan mengenai keadaan ketenagakerjaan. Didik juga berpendapat bahwa pokok permohonan Pemohon, yang menganggap bahwa penggunaan mekanisme contentiosa (gugatan) dalam perkara pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 152 UU Ketenagakerjaan, adalah kurang tepat. Hal ini dikarenakan UU PPHI merupakan amanat dari UU Ketenagakerjaan.
“Bahwa permohonan para Pemohon yang mengaitkan Pasal 81 UU PPHI dengan Pasal 151 dan 152 UU Ketenagakerjaan kurang tepat karena Undang-Undang PPHI justru merupakan amanat dari Pasal 136 ayat (2) UU Ketenagakerjaan,” urai Didik, di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Selain itu, terhadap dalil Pemohon yang mengganggap Pasal 81 UU PPHI tidak memiliki kepastian hukum, menurut Didik bahwa hal tersebut tidaklah beralasan. Menurutnya, UU PPHI justru memberikan kepastian hukum karena mekanisme beracara di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) memiliki putusan yang mengikat secara hukum, bersifat memaksa, eksekutorial dan mempunyai kekuatan hukum yang bersifat tetap. Untuk itu, Didik berpendapat bahwa ketentuan Pasal 81 UU PPHI telah memberikan jaminan kepastian hukum. “Bahwa ketentuan Pasal 81 UU PPHI tidak bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945,” kata Didik, yang juga Anggota Komisi III DPR.
Pada kesempatan itu, Pemohon menghadirkan dua orang ahli, yakni Abdul Rachmad Budiono dan Timboel Siregar. Mengawali keterangan ahlinya, Rachmad Budiono menyampaikan bahwa pembentukan UU Ketenagakerjaan dan UU PPHI dilakukan dalam kondisi yang tergesa-gesa. Untuk itu, lanjut Rachmad Budiono, salah satu pasal dalam UU PPHI menegaskan bahwa hukum acara yang berlaku di PHI adalah hukum acara yang berlaku di Pengadilan Umum. Sehingga menurutnya inilah yang menjadi pangkal masalah.
“Maka kemudian salah satu pasal dalam UU PPHI hukum acara yang berlaku di PHI adalah hukum acara yang berlaku di Pengadilan Umum, dalam pandangan Saya, inilah yang menjadi masalah,” kata Rachmad Budiono, Dosen Hukum di Universitas Brawijaya Malang.
Namun, Rachmad Budiono juga kurang sepakat dengan apa yang diminta dalam permohonan Pemohon. Menurutnya, perkara yang berkaitan dengan hak orang lain tidak bisa jika dijadikan gugatan voluntair (permohonan). Lebih lanjut, Rachmad Budiono menyatakan ada tiga syarat yang harus dipenuhi ketika sebuah gugatan bisa menjadi voluntair, yakni tidak berkaitan dengan hak orang lain, hanya ada satu pihak dan ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
“Tanpa tiga syarat itu maka tidak mungkin suatu perkara diubah formulanya dari suatu contentiosa menjadi suatu gugatan voluntair, ini yang harus secara ilmiah saya sampaikan,” papar Rachmad Budiono.
Sedangkan Timboel Siregar menyampaikan bahwa dalam sejarahnya, baik pemerintah, Mahkamah Agung dan DPR tidak siap dalam melaksanakan UU PPHI. “Dalam pelaksanaannya ketika UU PPHI, proses ini (pelaksanaan) tidak semudah yang dibayangkan DPR dan pemerintah waktu menyusun, faktanya Mahkamah Agung tidak siap, dan akhirnya pemerintah mengeluarkan Perppu, sehingga undang-undang ini ditunda, 2004 disahkan, 2006 baru beroprasi,” papar Timboel, yang pada Tahun 2001 pernah menjadi delegasi Indonesia pada International Labour Conference (ILC) di Jenewa, Swiss.
Selain itu, Timboel juga menyatakan bahwa ada ketimpangan sumber daya antara pengusaha dan pekerja. Untuk itu, lanjut Timboel, negara harus melihat ketimpangan tersebut sebagai ketidakadilan antara pengusaha dan pekerja. “Artinya ini merupakan keterbatasan yang harus dilihat oleh negara sebagai ketidakadilan sumber daya antara pengusaha dan pekerja,” papar Timboel.
Pembuktian oleh Pengusaha
Selanjutnya, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar memberikan pertanyaan terkait dengan solusi permaslaahan penggunaan mekanisme voluntair ataupun contentiosa dalam penyelesaian perkara PHK. Pertanyaan berawal dari penjelasan Rachmad Budiono yang menyatakan kurang sepakat dengan permintaan Pemohon untuk mengubah mekanisme penyelesaian perkara PHK dari gugatan contentiosa menjadi voluntair.
“Kondisi ini kan tidak bisa kita biarkan, sementara para buruh/pekerja menghendaki bagaimana hak-hak mereka diperoleh, saya kira itu, jalan keluarnya itu bagaimana,” kata Patrialis.
Menjawab pertanyaan itu, Rachmad Budiono menyatakan bahwa buruh/pekerja akan kesulitan membuktikan dalil-dalinya dalam perkara PHK ketika digunakan mekanisme contentiosa. Namun menurutnya, menjadi kurang tepat ketika meminta contentiosa dijadikan voluntair, karena gugatan voluntair ujung akhirnya adalah penetapan yang tidak bisa dieksekusi. Lebih lanjut, Rachmad Budiono menawarkan solusi agar beban pembuktian dialihkan kepada pengusaha.
“Kalau HIR mengatakan bahwa beban pembuktian itu yang mendalilkan yang membuktikan, mengapa Mahkamah Konstitusi tidak memberikan pemecahan, beban pembuktian diberikan kepada pengusaha untuk perkara PHK,” urai Rachmad Budiono.
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna sempat mengklarifikasi pernyataan untuk mengalihkan beban pembuktian kepada pengusaha. Menurut Palguna, diperlukan alasan mengapa dalam perkara PHK beban pembuktian dialihkan kepada pengusaha. “Tetapi okelah, itu saya kira satu hal yang sudah ikut memberikan sumbangan pemikiran dan kami juga tidak menutup kemungkinan bapak ahli memberikan keterangan tambahan tertulis setelah persidangan ini nanti,” pungkas Palguna.
Sebelumnya, Pemohon menganggap bahwa penggunaan mekanisme gugatan perdata (contentiosa) di PHI, khususnya dalam perkara PHK adalah tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Ketenagakerjaan. Menurut Pemohon, mekanisme tersebut tidak sesuai dengan Pasal 152 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menghendaki bahwa mekanisme penyelesaian perkara PHK menggunakan mekanisme permohonan (voluntair). Adanya pertentangan tersebut kemudian dianggap Pemohon telah merugikan hak-hak konstitusionalnya karena tidak memberikan jaminan kepastian hukum. Selain itu, penggunaan mekanisme gugatan perdata (contentiosa) dalam penyelesaian perkara PHK dianggap lebih menguntungkan pihak pengusaha, karena ada ketidakseimbangan sumber daya antara buruh dan pengusaha. (Triya IR)