Mahkamah Konstitusi (MK)menerima kunjungan mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Riau Kepulauan Batam (Unrika), Selasa (31/3). Kunjungan tersebut diterima oleh Peneliti MK, Syamsudin Noer. Pada kesempatan tersebut, Syamsudin menyampaikan materi seputar sejarah pembentukan MK serta kewenangannya.
Dengan metode interaktif, Syamsudin menjawab berbagai pertanyaan para mahasiswa berjaket almamater biru tua tersebut. Pertanyaan pertama yang ia jawab terkait dengan hierarki lembaga negara. Bila pada masa sebelum reformasi pembagian lembaga negara berdasarkan tingkatannya, namun usai reformasi lembaga negara dibedakan menurut fungsinya. “Dulu ada ilmu tata negara yang membedakan lembaga tertinggi negara dengan lembaga tinggi negara. Jadi ada lembaga negara yang posisinya berada di atas lembaga negara lainnya. Namun, seiring dengan perjalanan Konstitusi maka sekarang semua sejajar,” jelas
Mahkamah Konstitusi sendiri lahir sesuai amanat Konstitusi di tahun 2013 lewat perubahan ketiga UUD 1945 sebagai salah satu bentuk pemikiran yang lahir di masa reformasi. Meski sebenarnya ide mengenai lembaga penguji undang-undang sudah muncul saat the founding fathers menggelar sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945. Namun, ide yang dilontarkan oleh Mohammad Yamin saat itu dimentahkan oleh peserta sidang lainnya dengan alasan Indonesia yang baru merdeka belum memiliki banyak ahli hukum untuk melaksanakan kewenangan menguji undang-undang. “Jadi MK lahir dari rahim reformasi yang kedudukannya sejajar dengan lembaga negara lain sebagai salah satu kekuasaan kehakiman bersama dengan MA,” jelas Syamsudin.
Syamsudin kemudian menjelaskan perbedaan kewenangan yang dimiliki MA dengan MK. Meski sama-sama memiliki kewenangan untuk menguji peraturan perundangan, namun terdapat perbedaan di antara kedua lembaga kehakiman tersebut. MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang. Sedangkan MK berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. “Misalnya ada Perda yang dikeluarkan gubernur lalu mengusik rasa kemahasiswaan kalian maka itu tidak bisa diujikan ke MK, harus ke MA,” jelas Syamsudin mencontohkan.
Usai menjelaskan perbedaan kewenangan tersebut, Syamsudin memaparkan lebih detil kewenangan yang dimiliki MK. Terdapat empat kewenangan dan satu kewajiban yang dimiliki MK. Empat kewenangan dimaksud, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (PUU), memutus sengketa kewenangan lembaga (SKLN), memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (PHPU). Sedangkan satu kewajiban syang dimiliki MK seperti yang diamanatkan Pasal 7 dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yaitu wajib memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berat, perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
“Lembaga-lembaga negara yang bisa mengajukan sengketa kewenangan antar lembaga negara adalah lembaga negara yang namanya disebut dalam UUD 1945,” tutur Syamsudin.
Semua putusan MK dalam menangani berbagai perkara sesuai kewenangannya tersebut bersifat final dan mengikat seluruh rakyat Indonesia. Sifat putusan MK tersebut diperlukan untuk memberikan kepastian hukum bagi para pencari keadilan. (Yusti Nurul Agustin)