Usai berkunjung ke Mahkamah Konstitusi Austria, Ketua MKRI Arief Hidayat menyempatkan diri mengunjungi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Wina pada Senin (23/3). Kunjungan Arief diterima oleh Duta Besar RI untuk Austria Rachmat Hidayat, sejumlah pejabat dan staf KBRI, dan perwakilan masyarakat Indonesia yang berada di Wina.
Dalam kesempatan tersebut, Arief menuturkan saat ini banyak terjadi kegaduhan pengisian jabatan penting di Indonesia. "Bahkan pada pemilihan Presiden pun terjadi kegaduhan," ujarnya.
Kegaduhan tersebut terjadi lantaran belum tercipta kultur hukum yang baik. Ia menjelaskan, para pendiri bangsa sebetulnya pernah berpendapat bahwa tidak masalah kalau Undang-Undang Dasar Indonesia 1945 adalah UUD sementara, yang terpenting adalah semangat membangun negara.
Selain itu, faktor kepercayaan juga mempengaruhi kegaduhan yang terjadi di Indonesia. Membandingkan kondisi pada awal pendirian bangsa dengan kondisi sekarang, imbuh Arief, akan terlihat perbedaan dalam aspek rasa saling percaya antar masyarakat. Padahal, rasa saling percaya itu merupakan salah satu kunci perdamaian di suatu negara.
"Ada suasana kebatinan yang berbeda antara ketika pendirian bangsa dan sekarang. Masyarakat kita sekarang hidup dengan tingkat kepercayaan yang rendah atau low trust society. Perlu kita ingat bahwa pada proses penyusunan UUD, sangat didominasi orang jawa hampir 70%. Namun tidak ada usulan kalau bahasa nasional adalah bahasa Jawa," papar Arief.
Ia juga menyoroti masalah disorientasi dalam masyarakat. Menurut Arief, saat ini dalam memandang jabatan orang hanya melihat keuntungan bagi dirinya sendiri atau kelompoknya. "Orientasi kita sebagai pejabat seharusnya untuk bangsa dan masyarakat bukan untuk hal yang lain," imbuhnya.
Arief mencontohkan penetapan calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang seharusnya dilakukan dengan penuh keprihatinan karena seorang pejabat yang tertangkap. Namun kenyataannya, KPK melakukan itu dengan bangga karena mampu menangkap seorang pejabat.
Oleh karena itu, Arief mengimbau semua pihak untuk mengembalikan diri pada orientasi yang sama, yaitu mengabdi bagi bangsa dan negara. Ia menilai tidak akan mudah hidup bernegara tanpa visi misi yang sama dan rasa saling percaya. "Kalau masih saja gaduh seperti sekarang ini, maka kita akan melangkah mundur. Demokrasi bukan tujuan melainkan sarana untuk mencapai kemakmuran bangsa," tegasnya. (Yogi Djatnika/Lulu Hanifah)