Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menerima kunjungan mahasiswa yang ingin memperdalam pemahamannya tentang konstitusi dan kewenangan MK. Kali ini mahasiswa Fakultas Sosial Ilmu Politik (FISIP) dan Administrasi Tata Negara Universitas Islam 45 (Unisma) Bekasi yang datang berkunjung ke MK, Kamis (26/3). Kedatangan sekitar 60 mahasiswa Unisma tersebut diterima oleh Peneliti MK Ana Tri Ningsih.
Pada kesempatan yang sama, Ana menyampaikan materi seputar sejarah, fungsi, dan kewenangan MK. Ana menyatakan MK merupakan lembaga negara yang lahir dari rahim reformasi. Lewat amandemen atau perubahan ketiga pada UUD 1945, MK dibentuk sebagai salah satu kekuasaan yudikatif. “Lewat rahim reformasi MK lahir tepatnya pada tanggal 13 Agustus 2003,” ujar Ana.
Dua hari kemudian, tepatnya pada 15 Agustus 2003, Presiden Megawati Soekarno Putri melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 menetapkan hakim konstitusi yang selanjutnya diambil sumpah di Istana Negara pada 16 Agustus 2003. Hakim Konstitusi periode pertama yaitu, Jimly Asshiddiqie, Achmad Roestandi, I Dewa Gede Palguna, Ahmad Syarifuddin Natabaya, Abdul Mukthie Fadjar, Harjono, Mohammad Laica Marzuki, Soedarsono, dan Maruarar Siahaan.
Lebih lanjut, Ana menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 MK memiliki empat kewenangan. Empat kewenangan dimaksud, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (PUU), memutus sengketa kewenangan lembaga (SKLN), memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (PHPU). Selain itu, MK juga memiliki satu kewajiban seperti yang diamanatkan Pasal 7 dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yaitu wajib memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berat, perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Terkait kewenangan MK menguji undang-undang terhadap UUD 1945, Ana mengungkapkan kewenangan semacam itu tidak dimiliki oleh lembaga negara lainnya di Indonesia sebelum reformasi melahirkan MK. “Sebelum reformasi tidak ada lembaga negara maupun norma yang memiliki kewenangan atau memungkinkan seseorang melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, MK kerap disebut sebagai penafsir Konstitusi,” ungkap Ana.
Di hadapan para mahasiswa berjaket almamater warna biru tua, Ana menjelaskan permohonan SKLN tidak bisa dilakukan oleh sembarang lembaga negara. Hanya lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD 1945 sajalah yang bisa mengajukan permohonan SKLN. Semua kewenangan yang dimiliki MK tersebut, tegas Ana, tidak bisa diupayakan oleh MK secara aktif. Artinya, MK sebagai lembaga peradilan harus berisikap pasif tanpa “mencari-cari” perkara.
Seusai mendengar paparan yang disampaikan Ana, para mahasiswa Unisma bergegas mengunjuki Pusat Sejarah Konstitusi (Puskon) yang terletak di lantai 5 dan 6 Gedung MK. Di pusat sejarah tersebut, para mahasiswa mempelajari sejarah konstitusi serta perkembangannya dengan berbagai sarana interaktif yang modern dan menarik. Selain itu, berbagai hal tentang MK juga dapat diketahui di Puskon MK. Sejak diresmikan, Puskon MK kerap mendapat kunjungan dari berbagai instansi maupun berbagai kalangan masyarakat. Puskon MK memang terbuka untuk umum dan semua pengunjung yang datang tidak dipungut biaya sedikit pun. (Yusti Nurul Agustin)