Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) - Perkara No. 25/PUU-XIII/2015 - pada Kamis (26/3) siang.
Pemerintah yang diwakili oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Wicipto Setiadi mengatakan bahwa pada prinsipnya pasal yang diujikan Pemohon, yakni Pasal 32 ayat (2) UU KPK tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Alasannya karena pasal yang diuji Pemohon sebenarnya diperuntukkan untuk menjaga agar lembaga KPK yang mempunyai kewenangan sangat besar dan luas dalam pemberantasan korupsi itu tetap dalam kondisi yang bersih,” kata Wicipto kepada Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Wicipto juga menanggapi dalil Pemohon yang menganggap ketentuan tersebut menyebabkan KPK tidak dapat berfungsi efektif dan optimal karena melakukan penetapan sementara pimpinan KPK sebagai tersangka. “Menurut Pemerintah, ketentuan pasal tersebut bertujuan agar citra dan wibawa KPK tetap terjaga dan terpelihara dengan baik. Selain itu agar pimpinan KPK yang menjadi tersangka, lebih fokus dan terkonsentrasi untuk mengikuti proses penyelidikan, penyidikan maupun proses persidangan di pengadilan,” ujar Wicipto.
Sedangkan DPR yang diwakili oleh anggota Komisi III Didik Mukrianto mengatakan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia harus dilakukan secara komprehensif. Pemberlakuan metode konvensional terbukti selama ini mengalami berbagai hambatan. Karena itulah dibentuk lembaga Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) agar pemberantasan korupsi dapat berjalan optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan. “Berdasarkan Pasal 43 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa KPK memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan kasus korupsi,” imbuh Didik.
“Bahwa KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugasnya harus bebas dari kekuasaan mana pun juga. Pemilihan pimpinan KPK harus melibatkan unsur pemerintah, masyarakat dalam penjaringan calonnya. Juga melibatkan DPR dalam konteks pemilihannya. Hal tersebut bertujuan agar pimpinan KPK yang terpilih memiliki integritas tinggi dalam upaya pemberantasan korupsi,” papar Didik.
Pembatasan Jenis Pidana
Sementara KPK sebagai pihak terkait yang diwakili oleh Kepala Biro Hukum KPK Chatarina M. Girsang menjelaskan bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KPK harus tetap ada sebagai konsekuensi diberikannya kewenangan yang besar terhadap pimpinan KPK. “Namun pada beberapa peristiwa, ketentuan pasal tersebut telah menjadi celah untuk menghambat kinerja dan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK,” kata Chatarina.
Dalam Pasal 32 ayat (2) UU KPK disebutkan, “Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya”. UU KPK tidak menguraikan lebih lanjut tindak pidana kejahatan apa yang dilakukan oleh pimpinan KPK. Sehingga baginya layak untuk diberhentikan sementara dari jabatannya ketika menjadi tersangka. “Kalau demikian, maka semua tindakan yang berdasarkan undang-undang dinyatakan sebagai kejahatan pidana apabila dikenakan terhadap pimpinan KPK, maka berlakulah prosedur khusus dalam ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KPK,” ucap Chatarina.
Chatarina mengungkapkan, paling tidak tercatat dua peristiwa besar yang terjadi berkaitan dengan penetapan tersangka terhadap pimpinan KPK. Pertama, penetapan tersangka pimpinan KPK dalam kasus Bibit-Chandra dan yang terakhir adalah penetapan tersangka terhadap dua pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. “Terlepas dari soal benar atau tidaknya tuduhan tindak pidana yang dikenakan terhadap pimpinan KPK tersebut, faktanya penetapan tersangka yang kemudian memberhentikan sementara pimpinan KPK tersebut secara nyata telah menimbulkan guncangan dan menjadi hambatan terhadap kinerja KPK. Lebih luas lagi, terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia,” papar Chatarina.
Seperti diketahui, dalam permohonannya Pemohon (Forum Kajian Hukum dan Konstitusi) merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 32 ayat (2) UU KPK. Pasal ini dinilai telah mengakibatkan tidak adanya kesamaan yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terhadap KPK dibandingkan dengan penegak hukum lain, khususnya kepolisian. Hal ini terlihat dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yang tidak mengatur tentang pemberhentian apabila pimpinan Polri menjadi tersangka. (Nano Tresna Arfana)