Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman, Pemohon Muhammad Hafiz menegaskan permohonannya tidak nebis in idem atau sama dengan perkara yang pernah diuji MK.
Menurut Hafiz, pemohon telah mempelajari dengan saksama terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 78/PUU-X/2012 tanggal 30 Mei 2013 tentang Pengujian Materiil Pasal 197 ayat (2) dan Pasal 199 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Putusan tersebut pada pokoknya menerangkan objek pengujian adalah mengenai pembacaan putusan dalam perkara perdata biasa yang diperiksa dan diputus tanpa kehadiran para pihak pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali.
Oleh karena itu, menurut Pemohon, permohonan mereka memiliki perbedaan dengan perkara tersebut. “Sehingga permohonan a quo Para Pemohon tidak dapat dinyatakan nebis in idem,” jelasnya dalam sidang lanjutan perkara nomor 30/PUU-XIII/2015 di ruang sidang MK, Jakarta, Rabu (25/3).
Dalam sidang perbaikan permohonan tersebut, Pemohon juga memperkuat pokok-pokok permohonannya. Menurut pemohon, sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum. Hal tersebut berarti bahwa setiap orang diperbolehkan hadir dan mendengar pemeriksaan dalam rangka melindungi hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan.
Selain itu, perlunya sidang yang terbuka adlah untuk lebih menjamin objektifitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair, yakni memberikan kesempatan kepada para pihak guna meneguhkan dalil-dalil permohonannya maupun bantahannya dengan menghadirkan para ahli atau saksi untuk didengar pendapat dan keterangannya. “Asas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus diberikan kesempatan untuk memberikan pendapatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” jelasnya.
Pemohon menilai, pengecualian sidang terbuka untuk umum seharusnya hanya untuk perkara-perkara dalam ranah hukum keluarga, pidana anak, kesusilaan, keselamatan negara, perceraian, rahasia militer atau rahasian negara yang pernyataan pemeriksaan perkara dalam sidang yang tertutup untuk umum. “Itu diatur secara jelas dan tegas dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” imbuhnya.
Terkait kedudukan hukum Pemohon, untuk memperkuatnya, Pemohon telah disampaikan bukti tambahan, yaitu permohonan tertanggal 4 Maret 2015 tentang Judicial Review Peraturan Daerah Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Barat di Mahkamah Agung dan permohonan tanggal 2 Desember 2008 tentang Judicial Review Peraturan Bersama Empat Menteri di Mahkamah Agung.
Pemohon juga tetap mengajukan provisi dalam permohonannya kendati ketentuan Pasal 63 UU Mahkamah Konstitusi hanya mengatur pemberian putusan sela terhadap permohonan sengketa kewenangan lembaga negara. Menurut Pemohon, permohonan provisi penting untuk diajukan demi jaminan kepastian hukum atas proses yang sedang dijalani Para Pemohon. Apabila Mahkamah Agung tetap melanjutkan pemeriksaan pengujian ketentuan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap ketentuan perundang-undangan di atasnya, Pemohon merasa hak konstitusionalnya akan terlanggar secara faktual.
“Dengan demikian, Para Pemohon berpendapat bahwa MK berwenang untuk menjatuhkan putusan provisi dan mengabulkan permohonan provisi para Pemohon dengan amar mengabulkan permohonan provisi Para Pemohon sebelum menjatuhkan putusan akhir,” tegasnya.
Sebelumnya, Pemohon menilai kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan yang dimiliki oleh MA mempunyai karakteristik yang berbeda dengan kewenangan penyelesaian perselisihan oleh badan peradilan. Pengujian peraturan perundang-undangan, lanjut Hafidz, mempunyai karakteristik putusan yang bersifat final dan mengikat. Selain itu, putusan pengujian peraturan perundang-undangan akan mengikat bukan hanya kepada para pemohon, namun juga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, sudah seharusnya sidang digelar dengan sifat terbuka untuk umum.
“Nuansa public interest dalam pengujian ketentuan peraturan perundang-undangan, merupakan pembeda yang sangat jelas dengan perkara pidana, perdata dan tata usaha negara, yang pada umumnya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan individu lain atau pemerintah,” papar Hafidz.
Lebih lanjut, Hafidz menyatakan bahwa tidak adanya pengaturan tentang proses pemeriksaan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang akan mengakibatkan tidak adanya batas-batas hukum bagi MA dalam menjalankan kewenangannya. “Akan menjadi liar karena tidak ada ukuran-ukuran hukum atau batas-batas hukum yang jelas bagi Mahkamah Agung dalam menjalankan wewenangnya, yaitu salah satunya untuk memeriksa dan memutus sebuah permohonan pengujian ketentuan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di atasnya,” imbuhnya (Lulu Hanifah)