Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan perkara uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UU Penerbangan) dengan agenda perbaikan permohonan pada Rabu (25/3) siang, di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi dengan nomor 29/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh Sigit Sudarmaji yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena adanya pengaturan jumlah minimum kepemilikan dan penguasaan pesawat udara oleh pemegang izin usaha angkutan udara niaga, sebagaimana diatur dalam Pasal 118 ayat (1) huruf b dan Pasal 118 ayat ayat (2) UU a quo. Tanpa didampingi kuasa hukum, Pemohon menyampaikan perbaikan permohonannya dengan memperjelas kedudukan hukum (legal standing) dan memperkuat alasan-alasan permohonan sesuai dengan nasihat hakim pada sidang panel sebelumnya.
Terkait dengan kedudukan hukum, Sigit menyampaikan bahwa Ia merupakan perseorangan warga negara yang berminat mendirikan perusahaan penerbangan niaga berjadwal. Selain itu, lanjut Sigit, Ia juga dalam kapasitas sebagai pengguna jasa penerbangan dan sudah cukup lama berkecimpung dalam bidang penerbangan.
Kemudian mengenai kerugian konstitusonal, dalam kapasitasnya sebagai perseorangan warga negara yang berminat mendirikan perusahaan penerbangan niaga berjadwal, Sigit merasa peluangnya tertutup dan ada diskriminasi. Hal ini dikarenakan adanya persyaratan yang terlalu tinggi, yakni kewajiban untuk memiliki paling sedikit 5 unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 5 unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute yang dilayani, sebagaimana diatur dalam UU a quo.
Lebih lanjut, dalam kapasitas sebagai pengguna jasa penerbangan, Sigit merasa terbatasi dalam memilih rute, jadwal dan harga tiket pesawat. Hal ini dikarenakan tidak munculnya perusahaan-perusahaan penerbangan baru.
“Pemohon merasakan kerugian dengan sedikitnya pilihan atau adanya potensi berkurangnya pilihan bagi pemohon sebagai pengguna jasa penerbangan dalam memilih jadwal, rute maupun harga tiket pesawat, dikarenakan tidak munculnya perusahaan-perusahaan penerbangan yang baru atau adanya potensi ditutupnya perusahaan-perusahaan yang belum dapat memenuhi ketentuan kepemilikan tersebut,” papar Sigit, yang bertatus sebagai Pegawai Negeri Sipil Kementerian Perhubungan.
Kemudian dalam kapasitasnya sebagai orang yang sudah cukup lama berkecimpung dalam bidang penerbangan, Sigit menyatakan bahwa ketentuan kepemilikan dan penguasaan pesawat sebagaimana diatur dalam UU a quo bertentangan dengan prinsip kemandirian, efesiensi serta berkelanjutan sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Untuk itu, dalam perbaikan petitumnya, Sigit meminta kepada majelis hakim agar mengabulkan permohonannya dan menyatakan pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Pertama mengabulkan permohonan tentang pengujian pasal dimaksud, yang kedua menyatakan Pasal 118 ayat (1) huruf b dan ayat (2) dan seterusnya bertentangan dengan UUD 1945, menyatakan Pasal 118 ayat (1) huruf b dan ayat (2) dan seterusnya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya,” kata Sigit di hadapan panel hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati. Setelah mengesahkan alat bukti, Maria Farida menyampaikan kepada Pemohon bahwa hakim sidang panel akan melaporkan hasil ke rapat permusyawaratan hakim. (Triya IR)