Mantan Ketua Pengurus Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI) daerah Yogyakarta Indyah Sulistyo Arty menuturkan tenaga kefarmasian lulusan SMK yang sudah bertugas di bidang kesehatan sejak sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan perlu mendapatkan pengakuan sehingga tidak kehilangan kewenangannya sebagai tenaga teknis kefarmasian.
Menurut Indyah, diundangkannya UU Tenaga Kesehatan telah menimbulkan keresahan bagi anggota PAFI yang belum melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi di bidang farmasi berkaitan dengan kewenangannya sebagai tenaga kesehatan, padahal mereka sudah lama aktif bekerja di bidang kefarmasian. “Untuk menyesuaikan diri agar kuliah minimal D3 di bidang farmasi, mereka terbentur terutama pada biaya pendidikan, pembagian waktu antara studi, tugas, dan kewajiban kerja,” ujarnya dalam sidang lanjutan perkara nomor 16/PUU-XIII/2015 di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (25/3).
Oleh karena itu, ia memandang perlu adanya pengakuan kewenangan dari pemerintah untuk anggota PAFI yang masih berpendidikan SMK melalui Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Dengan adanya pengakuan tersebut, tenaga kesehatan tidak akan kehilangan kewenangannya sebagai tenaga teknis kefarmasian. “Kerangka kualifikasi menjamin adanya pengakuan, pencapaian seperangkat hasil belajar untuk tujuan tertentu melalui sertifikat resmi,” imbuhnya.
Sedangkan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Febrian menjelaskan Pasal 88 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan yang menyangkut pengaturan tenaga kesehatan yang menetapkan persyaratan diatur hanya untuk lulusan pendidikan diploma 3. Norma tersebut, menurutnya, tidak memberikan kemungkinan interpretasi tenaga kesehatan. “Ahli menemukan, baik pada rezim UU No. 23 Tahun 1992 ataupun sebelumnya dalam UU No. 6 Tahun 1963, kefarmasian di kelompokkan dalam tenaga kesehatan yang dibagi dalam tenaga kesehatan sarjana muda, menengah, dan terendah,” ujarnya.
Terbentur Dana
Dalam kesempatan yang sama, saksi yang dihadirkan pemohon Ade Marda Gresika dan Khomsa Khoerunnisa merasa dirugikan dengan pemberlakuan UU Tenaga Farmasi. Keduanya merupakan siswi SMK Farmasi Surabaya dan Tegal yang berharap akan bekerja di bidan kefarmasian. “Tiga tahun saya sekolah akan percuma apabila undang-undang diberlakukan seperti itu dan untuk masuk ke jenjang diploma pasti terbentur dengan adanya dana,” ujar Ade.
Selain itu, keduanya juga merasa sulit bersaing dengan siswa-siswa dari SMA untuk masuk perguruan tinggi. “Itu sangat sulit terutama untuk SMK karena SMK dipersiapkan untuk bekerja,” imbuhnya.
Sedangkan Khomsa merasa dirugikan karena telah dijanjikan oleh SMK Farmasi tempatnya bersekolah akan mendapatkan surat tanda registrasi tenaga teknis kefarmasian (STRTTK). “Tetapi ketika saya kelas 12, ternyata undang-undang tersebut diubah dan akhirnya kita yang akan menjadi korban,” jelasnya.
Tidak Dirugikan
Menanggapi keterangan tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengaku khawatir terjadi kekeliruan penafsiran undang-undang a quo. Menurutnya, UU Tenaga Kesehatan membedakan tenaga bidang kesehatan menjadi dua, yaitu tenaga kesehatan dan asisten tenaga kesehatan. “Sementara yang dikenai oleh Pasal 88 ini adalah yang tentang tenaga kesehatan, itu yang dipersyaratkan untuk diploma 3, sedangkan asisten tenaga kesehatan tidak tercakup oleh ketentuan ini,” jelasnya.
Aturan untuk asisten tenaga kesehatan, imbuhnya, diatur dalam Pasal 10 UU a quo, yang intinya menyatakan, asisten tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum pendidikan menengah di bidang kesehatan. “Jadi adik-adik ini menurut ketentuan undang-undang tidak terkena oleh ketentuan ini, tidak ada kerugian sebenarnya,” imbuhnya.
Pada sidang perdana, Heru Purwanto, Guru Sekolah Menengah Farmasi Ditkes AD sebagai Pemohon, meminta MK untuk membatalkan Pasal 88 ayat (1) dan Pasal 96 UU Tenaga Kesehatan karena merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai guru sekolah farmasi.
Adapun Pasal 88 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan menyatakan,
Tenaga Kesehatan lulusan pendidikan di bawah Diploma Tiga yang telah melakukan praktik sebelum ditetapkan Undang-Undang ini, tetap diberikan kewenangan untuk menjalankan praktik sebagai Tenaga Kesehatan untuk jangka waktu 6 (enam) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
Sedangkan Pasal 96 UU Tenaga Kesehatan menyatakan,
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Menurutnya, ketentuan tersebut merugikan karena lulusan sekolah menegah tidak bisa lagi menjadi tenaga kesehatan. Hal tersebut dinilai bertentangan dengan Konstitusi, khususnya Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (2). (Lulu Hanifah)