Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Arief Hidayat mengunjungi MK Austria di Vienna. Kunjungan Ketua MKRI yang juga didampingi oleh Sekretaris Jenderal MKRI Janedjri M. Gaffar itu disambut langsung oleh Presiden MK Austria Gerhard Holzinger pada Senin (23/3).
Dalam pertemuan tersebut, Arief menyampaikan rencana peningkatan kerja sama antara kedua lembaga yang selama ini telah terjalin dengan baik. Arief menuturkan, MKRI telah mengagendakan untuk menyelenggarakan program internship (magang) melalui pertukaran staf kedua instansi untuk masing-masing mendalami sistem hukum dan ketatanegaraan kedua Negara. Selain itu, pada kesempatan kunjungan tersebut, Arief juga sekaligus mengundang Presiden MK Austria untuk menghadiri dua kegiatan yang akan diselenggarakan MKRI mendatang, yakni International Symposium pada Agustus 2015 dan Kongres Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions (AACC) pada 2016 mendatang.
Pada kedua acara itu, imbuh Arief, MKRI juga akan menyelenggarakan pelatihan dan kuliah umum tentang konstitusi bekerja sama dengan Fakultas Hukum dari universitas seluruh Indonesia. “Jadi, kita dapat menyelenggarakan kuliah umum dan saya akan mengundang dekan fakultas hukum seluruh Indonesia untuk membahas tema yang berkaitan dengan Konstitusi, Mahkamah Konstitusi, dan Judicial review,” ujarnya.
Terhadap undangan tersebut, Holzinger menyatakan kesediaannya untuk hadir. “Saya merasa bangga atas undangan tersebut dan saya akan berusaha sebaik mungkin untuk bisa hadir,” ujarnya. Holzinger pun menyambut baik gagasan program magang untuk Peneliti MKRI dan MK Austria yang dicetuskan Arief. Sebagai langkah pertama dari pelaksanaan program magang tersebut, ia menambahkan, MKRI dapat mengirimkan delegasi untuk datang kembali ke Austria membicarakan teknis dalam kerangka kepentingan bersama.
Putusan Fenomenal
Dalam kesempatan itu, Holzinger juga menyampaikan ketertarikannya terhadap hakim konstitusi Indonesia yang berani mengeluarkan putusan-putusan fenomenal. Menanggapinya, Arief menyatakan MKRI memiliki kewenangan untuk bertindak sebagai the Guardian of the Constitution. Selain itu, Konstitusi Indonesia juga memuat dasar negara yaitu yang disebut Pancasila. “Sehingga pada perkara pengujian produk perundang-undangan bukan hanya pasal-pasal UUD saja yang menjadi batu uji melainkan juga dasar negara,” jelasnya.
Hakim Konstitusi, imbuh Arief, harus bisa menafsirkan makna dari dasar negara tersebut, sehingga mereka harus banyak mempelajari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang digali dari prinsip-prinsip kearifan lokal dan bukan dari nilai-nilai yang berasal dari luar. Arief mencontohkan putusan pengujian Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Air yang baru diputus beberapa waktu lalu. Menurutnya, UU tersebut terlah mengubah air sebagai karunia dari Tuhan untuk seluruh rakyat menjadi komoditas ekonomi sehingga menimbulkan konflik di lapangan antara pemilik modal dan masyarakat. “Atas dasar itulah undang-undang tersebut dibatalkan seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi dan mengembalikan air sebagai karunia Tuhan untuk manusia,” tandasnya.
Berbeda dengan MKRI yang berpegang pada Konstitusi dan Pancasila, Holzinger menjelaskan bahwa di Austria hanya ada 4 prinsip dasar, yaitu demokrasi, rule of law, bentuk negara federal, dan republik. Keempat hal tersebut yang memiliki kedudukan tertinggi sehingga setiap undang-undang dan peraturan harus sesuai dengan prinsip-prinsip itu.
Terkait kewenangan yang dimiliki, MK Austria bertugas memberikan asistensi dalam pengujian undang-undang yang dikeluarkan parlemen. Selain itu, mereka juga berfungsi sebagai penjaga hak individu dan kebebasan (the guardian of individual rights and freedom). Sedangkan untuk constitutional complaint, ia menjelaskan bahwa kewenangan ini hanya sebatas masalah administrasi saja. “Constitutional complaint atas pelanggaran hak konstitusional warga negara dan kebebasan yang menyangkut hukum pidana dan perdata menjadi kewenangan Mahkamah Agung,” ujarnya.
Adapun persamaan kewenangan MKRI dan MK Austria terletak pada impeachment Presiden dan penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara. Namun, kewenangan MK Austria hanya terbatas pada menyelesaikan sengketa antara pemerintah federal dan negara bagian (states). Selain itu mereka juga berwenang memutuskan sengketa antara Pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.
Mengenai kedudukan Mahkamah Konstitusi Austria di antara Konstitusi Austria dan Konstitusi Uni Eropa, Presiden MK Austria menyatakan jika ada warga negara Austria yang merasa tidak nyaman dengan adanya aturan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa, mereka dapat mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi Austria untuk kemudian diteruskan kepada Pengadilan Eropa.
“Konstitusi dan hukum Uni Eropa berada di atas konstitusi dan hukum Austria. Sehingga hanya European Court of Justice yang berada di Luxemburg yang berwenang memberikan penafsiran atas aturan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa, keputusan mereka itu bersifat final dan mengikat,” jelasnya. (Yogi Djatnika/Lulu Hanifah)