Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima pengujian Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Permohonan dengan No. Perkara 85/PUU-XII/2014 ini diajukan oleh Sutrisno anggota DPRD Kabupaten Pati (Pemohon I), Boyamin (Pemohon II), Dewan Pimpinan Cabang Partai Persatuan Pembangunan Kota Surakarta (Pemohon III) dan Dewan Pimpinan Cabang Partai Persatuan Pembangunan Kabupaten Sragen (Pemohon IV).
“Amar putusan, mengadili menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” demikian dibacakan Ketua Pleno Anwar Usman yang didampingi para hakim konstitusi lainnya pada sidang pengucapan putusan MK, Selasa (24/3) sore.
Menurut Mahkamah, Pemohon I adalah anggota Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan mempunyai kursi anggota DPR RI pada masa jabatan 2009-2014. Terhadap hal tersebut, sesuai dengan pertimbangan Mahkamah pada putusan sebelumnya, yaitu Putusan No. 51-52-59/PUU-VI/2008 bertanggal 18 Februari 2009 dan Putusan No. 73/PUU-XII/2014 bertanggal 29 September 2014, yang pada pokoknya menyatakan Partai Politik yang turut serta dalam pembahasan dan pengambilan keputusan secara institusional melalui perwakilannya di DPR atas pengesahan suatu undang-undang, maka partai politik tersebut tidak dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke MK.
“Dengan demikian menurut Mahkamah, Pemohon I tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” ujar Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Sedangkan Pemohon II adalah mantan anggota DPRD masa jabatan 1997-1999. Menurut Mahkamah, Pemohon II tidak memiliki kerugian hak dan atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual terkait pemberlakuan norma a quo. Dengan demikian, Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
Selanjutnya, Pemohon III dan Pemohon IV yang merupakan badan hukum partai politik peserta pemilu yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan mempunyai kursi anggota DPR pada masa jabatan 2009-2014. Terhadap hal tersebut, sesuai dengan pertimbangan Mahkamah pada putusan sebelumnya, yaitu Putusan No. 51-52-59/PUU-VI/2008 bertanggal 18 Februari 2009 dan Putusan No. 73/PUU-XII/2014 bertanggal 29 September 2014, yang pada pokoknya menyatakan partai politik yang turut serta dalam pembahasan dan pengambilan keputusan secara institusional melalui perwakilannya di DPR atas pengesahan suatu undang-undang, maka partai politik tersebut tidak dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke MK. Dengan demikian menurut Mahkamah, Pemohon III dan Pemohon IV tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka selanjutnya Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.
Sebagaimana diketahui, para Pemohon mempersoalkan Pasal 376 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (9) dan Pasal 377 ayat (2) dan ayat (3) UU a quo. Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya UU a quo karena sebagai anggota DPRD Kabupaten/Kota dirinya tidak dapat menjadi pihak yang berhak menentukan pihak yang akan menjadi pimpinan DPRD.
Pemohon menilai, meski UU MD3 telah menjelaskan tugas antara DPR dan DPRD Kabupaten/Kota adalah sama, namun menjadi inkonstitusional dengan berlakunya UU a quo. Menurut Pemohon, seharusnya pimpinan DPRD Kabupaten/Kota dipilih berdasarkan masukan dari anggota di DPRD, bukan dari sistem perolehan suara partai secara berjenjang. Oleh karena itu, Pemohon berpendapat bahwa ketentuan yang tercantum dalam UU No. 17 Tahun 2014 bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dibatalkan. (Nano Tresna Arfana)