Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji yang dimohonkan oleh dua orang calon jemaah haji, Sumilatun dan JN Raisal Haq. Sidang perkara nomor 12 dan 13/PUU-XIII/2015 tersebut beragenda mendengarkan keterangan ahli dan saksi Pemohon.
Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jember Abdul Halim Soebahar sebagai ahli mengatakan perlu adanya ketegasan dan kepastian hukum bahwa yang boleh menunaikan haji adalah orang Islam yang belum pernah menunaikan ibadah haji. “Sedangkan yang sudah pernah menunaikan ibadah haji harus dinyatakan tidak berhak lagi kecuali jika memenuhi salah satu syarat,” ujarnya dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Selasa (24/3).
Menurutnya, warga negara yang sudah pernah menunaikan ibadah haji dapat menunaikan haji lagi apabila memenuhi salah satu dari tiga syarat, yakni menjalankan tugas yang ada kaitannya penyelenggaraan ibadah haji, misalkan jadi panitia atau petugas haji, ada alasan khusus yang dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan, atau apabila sudah tidak ada lagi calon jamaah haji daftar tunggu. Ia menjelaskan, apabila salah satu dari tiga syarat tidak terpenuhi, akan terjadi kerugian konstitusional yang aktual dengan banyaknya daftar tunggu.
Lebih lanjut, ahli yang juga merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia Jember menuturkan Pasal 5 UU Penyelenggaraan Haji perlu dinyatakan konstitusional bersyarat, yakni sepanjang frasa membayar BPIH dimaknai sebagai membayar BPIH pada tahun berjalan setelah Pemohon memperoleh kuota haji. “Dengan kata lain, Pemohon tidak harus membayar setoran awal pada saat masih mendaftarkan diri sebagai calon jemaah haji,” tuturnya.
Ia menambahkan, ada dasar dalam al Quran di mana Allah berfirman, “ Walillahi alannasiHijjul baiti manistatho`a ilaihi sabila” Artinya, istitoah atau kemampuan merupakan bagian dari indikator syarat kemampuan menunaikan ibadah haji. Tetapi dengan kuota yang terbatas serta antrian yang sampai puluhan tahun, akan membuat giliran seseorang berangkat untuk menunaikan ibadah haji menjadi tidak mampu karena mungkin syarat kesehatan, syarat fisik, syarat mental, atau syarat dana tidak lagi terpenuhi.
BPIH Memberatkan
Sedangkan untuk pengujian UU Pengelolaan Keuangan Haji, terkait dengan Pasal 6 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Ayat (1), ahli menuturkan berlakunya Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) merugikan hak-hak konstitusional Pemohon yang terdapat dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, yaitu hak memperoleh kepastian hukum yang adil dan hak untuk memperoleh perlindungan atas harta yang dimilikinya. Menurut ahli, norma-norma tersebut harus dimaknai ‘yang tidak boleh diambil allih oleh jamaah haji adalah saldo setoran BPIH tahun berjalan’. Sedangkan dana setoran awal BPIH harus dimaknai ‘dapat diambil oleh calon jamaah haji karena dana setoran awal BPIH adalah merupakan hak milik pribadi calon jamaah haji, calon jamaah haji berhak mengambil dana setoran awal tersebut dari BPS BPIH’.
Sementara saksi yang dihadirkan Pemohon, Ali Masyar, mengaku dirugikan dengan berlakunya norma-norma yang diujikan dalam UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan UU Pengelolaan Dana Haji. Ali yang berprofesi sebagai guru PNS mengatakan berniat untuk mendaftar haji, namun, ia tidak memiliki dana untuk membayar setoran awal PPIH sebanyak Rp25.000.000. “Terus terang kami sangat keberatan kalau sebesar itu,” ujarnya.
Selain itu, saksi keberatan dengan antrean tunggu sampai 20 tahun yang akan datang. Ia menjelaskan baru dapat mendaftar haji setelah pensiun, dengan membayar setoran awal menggunakan dana Tabungan Asuransi Pensiun (Taspen). “Padahal untuk guru PNS, dana Taspen itu baru cair setelah pension yaitu saat umur saya 60 tahun,” imbuhnya.
Apabila baru mendaftar umur 60 tahun, Ali harus menunggu 20 sampai 30 tahun mendatang, berarti umurnya antara 85 sampai 90 tahun baru menunaikan ibadah haji. “Saya keberatan apabila harus membayar dana awal setoran BPIH karena mesti mengutamakan pendidikan anak dan masih ada kepentingan lain yang lebih produktif daripada untuk membayar setoran BPIH,” jelasnya.
Sebelumnya, Pemohon menguji Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan sejumlah pasal dalam UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Adapun Pasal 4 ayat (1) UU Penyelenggaraan Ibadah Haji menyatakan:
“Setiap Warga Negara yang beragama Islam berhak untuk menunaikan Ibadah Haji dengan syarat: a. berusia paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah; dan b. mampu membayar BPIH”
Menurutnya, aturan tersebut menjadi inkonstitusional bersyarat karena menyatakan setiap muslim dapat menjalankan ibadah haji lebih dari satu kali. Padahal masalah haji saat ini yang menjadi perhatian umum adalah soal kuota yang sangat terbatas. “Seorang calon jemaah haji harus membayar setoran awal atau apa pun sebutannya terlebih dahulu, padahal pelaksanaan ibadah haji masih sekitar 20 sampai 25 tahun lagi,” ujarnya dalam sidang perdana perkara nomor 12 dan 13/PUU-XIII/2015 di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa (27/1).
Dia menilai, ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU a quo harus dimaknai khusus untuk orang Islam yang belum pernah haji saja yang boleh haji, sedangkan yang sudah pernah haji tidak boleh haji apabila masih terdapat daftar haji tunggu atau waiting list. “Kenapa demikian? Karena dalam agama Islam ini kewajiban haji itu hanya sekali, al hajju maratun fama zaadaz fahuwa tathawwu, haji itu sekali, selebihnya adalah sunah,” imbuhnya.
Selain itu, pemohon juga mempersoalkan masalah setoran awal biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) saat calon jemaah mendaftar haji sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 UU Penyelenggaraan Ibadah Haji. Pemohon menilai pengertian membayar BPIH itu harus diterjemahkan sebagai BPIH pada tahun berjalan, seperti pasal-pasal yang lain menyebutkan bahwa calon jemaah haji harus membayar BPIH setelah mendapat persetujuan dari presiden dan DPR, dan sesuai dengan kuota yang ditetapkan.
“Berarti di sini kami anggap bahwa yang diharuskan dibayar oleh calon jemaah haji adalah BPIH tahun berjalan, bukan setoran awal BPIH. Kalau setoran awal BPIH itu sifatnya tidak boleh memaksa dan harus sukarela. Untuk mendaftar itu tidak ada kaitannya dengan setoran awal BPIH karena pada dasarnya mendaftar haji daftar tunggu itu hanyalah seperti mengambil nomor urut antrean saja,” jelasnya. (Lulu Hanifah)