Sebanyak 183 orang yang terdiri dari dosen dan mahasiswa Fakutas Hukum Universitas Negeri Gorontalo (UNG) mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (24/3) pagi, di Aula Lantai Dasar Gedung MK. Kunjungan ini merupakan bagian dari seluruh rangkaian kegiatan kunjungan ke lembaga-lembaga negara dalam rangka melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) untuk mahasiswa semester 4. Setibanya di aula, kedatangan mereka disambut oleh Kepala Bidang Penelitian dan Pengkajian Perkara MK, Wiryanto.
Pada kesempatan itu, Wiryanto menyampaikan materi sambil berdiskusi terkait dengan kedudukan MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Memulai pemaparan, Wiryanto menyatakan bahwa terdapat beberapa alasan mengapa Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) mengalami perubahan. Adapun latar belakang perubahan tersebut, yakni tidak adanya checks and balances dalam sistem kelembagaan dan adanya pasal yang luwes sehingga bisa menimbulkan multitafsir. Banyaknya ketentuan yang memberikan kewenangan kepada Presiden juga menjadi salah satu dasar pemikiran dilakukannya perubahan. Selain itu, rumusan konstitusi pada waktu itu belum mendukung kehidupan yang demokratis dan Hak Asasi Manusia (HAM). “Oleh karena itu, dasar pemikiran ini yang menjadi suatu alasan pada saat melakukan amandemen UUD 1945,” kata Wiryanto.
Terkait dengan mekanisme, Wiryanto menyatakan bahwa terdapat beberapa kesepakatan dalam melakukan perubahan UUD 1945. Kesepakatan itu antara lain, tidak mengubah pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mempertegas sistem pemerintahan presidensial, penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal dan melakukan perubahan dengan cara adendum. Menurut Wiryanto, terdapat beberapa perbedaan yang signifikan setelah dilakukannya perubahan, yakni UUD 1945 sebelum perubahan hanya terdiri dari 16 Bab, setelah perubahan terdapat 21 Bab. Jumlah pasal yang dahulunya hanya 27, setelah perubahan menjadi 73 pasal. Sedangkan jumlah ayat yang dulunya 49, kini menjadi 170 ayat.
Dengan adanya perubahan itu, lanjut Wiryanto, maka lahirlah suatu lembaga negara baru yang disebut MK, yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. Menurut Wiryanto, MK Indonesia merupakan MK ke-78 yang terbentuk di dunia. Namun ketika berpatokan pada abad, maka MK Indonesia merupakan MK pertama yang lahir di abad 21. “Tetapi kalau kita lihat pada abad ke-21 ya pak, bahwa MK itu adalah MK yang pertama kali yang lahir di abad itu,” papar Wiryanto.
Menurut Wiryanto, MK berbeda dengan Mahkamah Agung (MA), karena MK adalah mahkamah yang berada dalam bidang ketatanegaraan. Lebih lanjut, Wiryanto menyatakan bahwa MK adalah pengawal konstitusi agar konstitusi dilaksanakan dan dihormati oleh penyelenggara negara dan warga negara. “Ini merupakan salah satu fungsi MK, yang fungsi lainnya penfasir akhir konstitusi,” imbuh Wiryanto.
Pengujian TAP MPR
Setelah mendengarkan pemaparan materi, salah satu mahasiswa, Romli bertanya tentang lembaga yang berhak menguji Ketetapan MPR (TAP MPR). Pertanyaan ini berlandaskan pada keberadaan TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia yang berada di antara UUD 1945 dan undang-undang. “Posisi TAP MPR berada di bawah dari UUD 1945 dan di atas daripada undang-undang, berdasarkan kompetensi absolut, maka kita sebagai rakyat maupun sebagai lembaga mengajukan permohonan kemana, terima kasih,” kata Romli.
Menjawab pertanyaan itu, Wiryanto menyatakan bahwa MK merupakan lembaga peradilan yang terkait dengan norma-norma dalam konstitusi. Untuk itu, lanjut Wiryanto, hal ini dapat dikaitkan dengan pertanyaan apakah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dapat diujikan ke MK. Wiryanto beranggapan bahwa meskipun Perppu tidak dikatakan secara eksplisit dalam kewenangan pengujian MK, namun karena kekosongan hukum perlu dijawab oleh MK, maka pengujian Perppu dapat dilakukan oleh MK. “Maka kalau lembaga negara di Indonesia ini tidak ada satu pun yang punya kewenangan untuk menguji TAP MPR, sedangkan MK itu adalah sebagai lembaga negara yang menguji undang-undang terhadap UUD, seyogyanya lembaga yang lebih dekat untuk melakukan pengujian itu ya MK,” papar Wiryanto. “Tetapi apakah kewenangannya itu nanti akan menjadi kewenangan MK atau tidak, itulah yang menjadi ranahnya hakim. Apabila itu ada, mari kita lihat sejauh mana MK akan menafsirkan terhadap pengertian TAP MPR,” tambah Wiryanto.
Sementara itu, Muhammad Fadel yang juga seorang mahasiswa menanyakan tentang penelitian yang MK lakukan untuk efesiensi penyelesaian sengketa ketika penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dilakukan secara serentak. Menanggapi pertanyaan itu, Wiryanto menyatakan bahwa MK membangun sebuah strategi agar penyelesaian sengketa Pilkada dapat dilakukan secara efektif. Menurutnya, MK juga menyusun Peraturan MK (PMK) baru guna memperbaiki hukum acara dalam peraturan sebelumnya.
“Terkait dengan mekanisme pemeriksaan di MK pun secara umum saat ini sedang disusun Peraturan Mahkamah Konstitusi terkait dengan bagaimana mekanisme pengujian undang-undang, sengketa kewenangan antarlembaga negara, impeachment, karena dengan beberapa perkembangan MK dalam putusan-putusannya yang sudah kita ketahui itu, maka mempengaruhi pola bagaimana cara pemeriksaan,” pungkas Wiryanto. Setelah berdiskusi, dosen dan mahasiswa berkesempatan mengunjungi Cinema Konstitusi di Lantai 6 Gedung MK. (Triya IR)