Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) Hortikultura yang dimohonkan oleh petani buah dan sayur serta Asosiasi Produsen Perbenihan Hortikultura, Kamis (19/3) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam putusan perkara No. 20/PUU-XII/2014 tersebut, Arief Hidayat selaku ketua MK menyatakan permohonan Para Pemohon tidak beralasan menurut hukum sehingga seluruh permohonan tersebut ditolak oleh Mahkamah.
Hakim Konstitusi, Muhammad Alim yang membacakan pendapat Mahkamah terhadap pokok permohonan Para Pemohon menyampaikan sifat pembukaan UUD 1945 sangat fundamental atau mendasar. Sehingga, pantas saja tidak pernah disepakati adanya perubahan atau amandemen terhadap preambule Konstitusi RI tersebut.
Pada aliena keempat Pembukaan UUD 1945 salah satunya ditegaskan bahwa Pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Artinya, warga negara dan bangsa Indonesia lebih memeroleh keutamaan dalam memperoleh perlindungan dibanding orang lain (orang berkebangsaan lain, red) yang berada di Indonesia.
Terkait dengan pokok permohonan Para Pemohon yang pada intinya memasalahkan ketentuan pembatasan modal asing (PMA) pada bisnis benih hortikultura, Mahkamah menegaskan bahwa pembedaan perlakuan antar WNI dengan WNA dalam batas tertentu lazim dilakukan. Salah satunya dalam pungutan pajak bagi WNI yang berbeda dengan jumlah besaran pungutan pajak bagi WNA.
“Pembedaan demikian, kalaupun dikatakan sebagai pembatasan terhadap hak asasi manusia merupakan pembatasan yang dibenarkan bukan saja dari perspektif UUD 1945 tetapi juga dari perspektif hukum internasional sepanjang pembatasan itu dilakukan dengan undang-undang,” jelas Alim yang juga menegaskan pembatasan semacam itu bukanlah sikap diskriminatif.
Mahkamah melihat yang terjadi pada pembatasan PMA maksimal sebesar 30 persen untuk penyediaan bibit hortikultura tidak dimaksudkan untuk warga negara. Pembatasan tersebut hanya untuk membatasi modal asing. Pasal 100 ayat (2) UU Hortikultura yang digugat oleh Para Pemohon menurut Mahkamah merupakan pembatasan PMA dalam sektor penyediaan bibit hortikultura yang melingkupi hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pembatasan tersebut terkait erat dengan kepentingan asing.
Indonesia Mandiri
Sebelumnya Para Pemohon memang mendalilkan bahwa ketentuan yang membatasi kucuran PMA hanya maksimal sebesar 30 persen justru akan merugikan industri hortikultura lokal. Sebab, pembatasan tersebut akan mengganggu ketersediaan benih unggul di Indonesia yang diyakini Pemohon selama ini belum mampu dihasilkan sendiri oleh industri benih lokal. Setelah mendengarkan keterangan Presiden, DPR, serta keterangan ahli dan saksi, Mahkamah bertambah yakin bahwa penyelenggaraan penyediaan benih hortikultura telah mampu dilaksanakan sendiri oleh bangsa Indonesia.
Hal tersebut sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan perekonomian nasional diselenggarakan salah satunya berdasar aprinsip kemandirian. Artinya, perekonomian nasional tidak selalu tergantung dengan pihak asing, dalam konteks ini tergantung dengan besaran PMA. Terlebih, Mahkamah menilai Indonesia sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, maka bibit hortikultura juga termasuk dalam kategori cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan mengusai hajat hidup orang banyak.
Sesuai amanat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti itu tentunya harus dikuasai oleh negara. Maka oleh karena itu, Mahkamah menegaskan Pasal 100 ayat (3) dan Pasal 131 ayat (2) UU Hortikultura tidak bertentangan dengan Konstitusi, tepatnya tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. “Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tukas Alim. (Yusti Nurul Agustin)