Pemohon Pengujian Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PUU PPTKILN) yang dimohonkan oleh 28 Anak Buah Kapal (ABK) kembali menghadirkan ahli dan saksi dalam sidang pemeriksaan keempat, Rabu (18/3) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Ahli Pemohon menyampaikan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) tidak diperlukan sebagai identitas diri TKI yang bekerja di luar negeri. Sementara itu saksi yang dihadirkan Pemohon mengungkapkan KTKLN tidak berfungsi saat TKI berurusan dengan permasalahan hukum di luar negeri.
Fatkhul Muin selaku dosen di Fakultas Hukum Universitas Ageng Tirtayasa dihadirkan oleh Para Pemohon selaku ahli untuk menguatkan dalil-dalil Pemohon. Sebagai negara hukum, Indonesia harus memiliki perlindungan dan jaminan hukum terhadap setiap warga negaranya. Perlindungan dan jaminan tersebut merupakan instrumen pokok yang harus dimiliki oleh negara dalam menjaga setiap warga negaranya, baik yang berada di dalam negeri atau yang berada di luar negeri.
Substansi dari perlindungan dan jaminan hukum tersebut dapat diwujudkan dengan dilahirkannya kebijakan yang berorientasi kepada perlindungan terhadap setiap warga negara dalam membangun sistem yang terintegrasi. Implikasi dari kebijakan tersebut harus senantiasa ditunjukkan untuk kepentingan seluruh anggota masyarakat.
Terkait dengan kewajiban bagi TKI memiliki KTKLN, Muin mengatakan kebijakan tersebut justru menunjukkan lemahnya sistem administrasi kependudukan di Indonesia. Seharusnya, cukup dengan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik bagi WNI yang berada di dalam negeri dan paspor yang berisi visa bagi WNI yang bekerja di luar negeri.
“Kedua hal tersebut (KTP elektronik dan paspor) seharusnya menjadi instrumen pokok dalam setiap perlindungan terhadap Warga Negara Indonesia, sehingga pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan instrumen-instrumen lainnya (seperti KTKLN) yang dapat mengakibatkan ketidakjelasan terhadap perlindungan Warga Negara Indonesia, baik yang bekerja di dalam negeri ataupun yang bekerja di luar negeri,” jelas Muin di hadapan pleno hakim yang langsung dipimpin Ketua MK, Arief Hidayat.
Dengan kata lain, Muin mengatakan ketentuan yang mewajibkan dimilikinya KTKLN seperti yang tercantum dalam Pasal 26 ayat (2) huruf f UU PPTKILN bertentangan dengan Konstitusi karena tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Selain itu, Muin juga mengatakan syarat diperlukannya KTKLN justru menunjukkan lemahnya pengelolaan sistem manajemen administrasi kependudukan di Indonesia.
KTKLN Tidak Berfungsi
Sementara salah satu saksi Pemohon, menceritakan pengalamannya ketika kehilangan identitas diri saat bekerja di luar negeri. Saat itu, Rai Ahmad Salimi menceritakan pernah ditangkap keimigrasian Trinidad dan Tobago saat ia hendak pergi ke daratan untuk mencari pekerjaan lain. Saat ditangkap, Salimi menyerahkan KTKLN yang dianggapnya sebagai identitas dirinya. Selain itu, paspor yang dimiliki Salimi ditahan oleh kapten kapal tempatnya bekerja sebagai jaminan. Sehingga hanya KTKLN milik Salimi saja yang bisa Salimi tunjukan sebagai identitas dirinya.
Namun, ternyata KTKLN yang dimiliki Salimi dan diyakininya sebagai identitas diri yang cukup justru tidak berguna sama sekali. Ternyata, dari proses penangkapan di imigrasi Trinidad dan Tobago tersebut Salimi mengetahui bahwa identitas yang berguna bagi WNI yang bekerja di luar negeri hanyalah paspor.
Pada kesempatan tersebut, Salimi juga mengatakan ia membuat KTKLN di Bandara Soekarno-Hatta saat hendak berangkat ke Senegal sebagai ABK. Salimi mengaku proses pembuatan KTKLN di Bandara Soekarno-Hatta berlangsung sangat singkat dan lokasinya terletak di salah satu sudut bandara. (Yusti Nurul Agustin)