Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang pada Rabu (18/3) siang, di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam sidang kali ini, MK melakukan penggabungan pemeriksaan perkara, yakni Perkara Nomor 33/PUU-XIII/201 yang diajukan oleh Adnan Purichta Ichsan dan Perkara Nomor 34/PUU-XIII/2015 yang diajukan oleh Aji Sumarno. Adapun ketentuan yang diuji kedua permohonan itu terkait pengaturan larangan adanya konflik kepentingan dengan petahana dalam mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Pemohon diwakili kuasa hukumnya, Heru Widodo menyatakan bahwa persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal I angka 6 tentang Perubahan Pasal 7 huruf r dan huruf s UU a quo telah membatasi hak-hak konstitusional Pemohon. Ketentuan Pasal I angka 6 tentang Perubahan Pasal 7 huruf r dan huruf s ini mengatur bahwa:
“Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
....
r. tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana;
s. memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan DPRD bagi anggota DPRD;
....”
Penjelasan:
r. Yang dimaksud dengan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.”
Menurut Heru, kerugian konstitusional terjadi karena Pemohon merupakan anak kandung dari seorang yang menjabat sebagai Bupati. Sehingga, lanjut Heru, Pemohon kehilangan hak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan dalam pemilihan kepala daerah. “Hak-haknya dibatasi oleh pasal yang diuji, hanya karena Pemohon mempunyai hubungan darah, tepatnya mempunyai ayah kandung yang menjabat sebagai Bupati Gowa, sehingga kehilangan hak untuk mencalonkan diri ataupun dicalonkan dalam Pemilukada serentak Tahun 2015,” papar Heru di hadapan panel hakim yang diketuai Maria Farida Indarti.
Lebih lanjut, Heru menyatakan bahwa Pasal a quo akan memasung hak asasi Pemohon, membedakan Pemohon di dalam hukum dan pemerintahan, serta mengahalangi Pemohon untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Meskipun terdapat pembatasan hak dalam Pasal 28J UUD 1945, Heru menilai bahwa pembatasan tersebut dimaksudkan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dengan mempertimbangkan empat hal, yakni moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
“Pada pokoknya bahwa dengan pencalonan Pemohon yang memiliki hubungan keluarga dengan petahana sama sekali tidak mengganggu hak dan kebebasan orang lain, tidak pula melanggar ataupun mengganggu nilai-nilai moral, nilai-nilai agama serta tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis,” urai Heru.
Kemudian terkait dengan ketentuan Pasal I angka 6 tentang Perubahan Pasal 7 huruf s, Heru menganggap bahwa pemberitahuan saja tidak cukup, seharusnya calon yang berstatus anggota legislatif juga mengundurkan diri dari jabatannya, atau jika tidak, calon lain yang berasal dari pejabat BUMN/BUMD, PNS dan Anggota TNI/POLRI juga dipersyaratkan sama dengan calon dari anggota legislatif. Berdasarkan dalil-dalil itu, Heru meminta kepada majelis hakim agar permohonannya dikabulkan dan menyatakan pasal yang diuji beserta penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sementara itu, kuasa hukum Aji Sumarno yakni, Mappinawang juga menyatakan bahwa Pemohon yang merupakan menantu seorang bupati telah dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan diberlakukannya Pasal I angka 6 tentang Perubahan Pasal 7 huruf r UU a quo. “Maka Pemohon tersebut terlanggar hak-haknya untuk mencalonkan diri sebagai Bupati Kabupaten Kepulauan Selayar pada Tahun 2015 ini,” papar Mappinawang. Untuk itu, Mappinawang meminta agar pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, Mappinawang juga meminta agar majelis hakim memprioritaskan pemeriksaan perkara a quo dan menjatuhkan putusan sebelum dimulainya tahapan pendaftaran bakal pasangan calon dalam pemilukada serentak tahun 2015
Menanggapi apa yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mencermati permohonan yang meminta agar majelis hakim memprioritaskan pemeriksaan perkara. Menurut Maria Farida, MK selama ini tidak memberikan prioritas seperti itu. Selain itu, terkait dengan adanya petitum yang meminta pemberlakuan konstitusional bersyarat terhadap Pasal I angka 6 tentang Perubahan Pasal 7 huruf s, Maria Farida menyatakan bahwa permohonan tersebut bukan konstitusional bersyarat, namun meminta MK untuk mengubah pasal. “Anda minta bahwa ada konstitusional bersyarat, ya, tapi kok kita lihat pada konstitusional bersyarat, ini kelihatannya bukan konstitusional bersyarat, tapi Anda minta MK mengubah undang-undang tersebut,” kata Maria Farida.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengklarifikasi objek permohonan Pemohon. Menurut Wahiduddin, objek permohonan lebih tertuju pada Penjelasan Pasal I angka 6 tentang Perubahan Pasal 7 huruf r yang mendefinisikan frasa “konflik kepentingan dengan petahana” sebatas adanya hubungan darah dan ikatan perkawinan. Selain itu, Wahiduddin juga mencermati permintaan konstitusional bersyarat pemberitahuan pencalonan anggota legislatif, yang seharusnya itu menguntungkan Pemohon yang berstatuf sebagai anggota DPRD. Tanggapan yang sama juga disampaikan oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, yakni seharusnya ketentuan pencalonan anggota legislatif yang hanya dengan melakukan pemberitahuan adalah menguntungkan Pemohon. “Kenapa suatu hal yang menguntungkan Anda, kok malah Anda minta supaya Mahkamah mengartikan sesuatu yang justru lebih merugikan, paling tidak itu kalau menurut pandangan Kami,” pungkas Palguna. Selanjutnya para Pemohon diberikan waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. (Triya IR)