Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dengan agenda perbaikan permohonan, pada Selasa (17/3) siang. Di hadapan panel hakim, selain menyampaikan perbaikan permohonan, Wachid Ahmad sebagai juru bicara para Pemohon juga memperkenalkan tambahan Pemohon dalam perkara yang teregister dengan Nomor 27/PUU-XIII/2015 ini. Jika Pemohon sebelumnya hanya seorang PNS, kali ini terdapat penambahan Pemohon yang juga berstatus tenaga honorer.
Dalam perbaikan permohonannya, Wachid menyatakan bahwa untuk Pemohon yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), dirugikan hak konstitusionalitasnya karena Pasal 2 huruf a UU a quo yang mengatur kepastian hukum dianggap telah kehilangan makna. Menurut Wachid, makna kepastian hukum dalam UU a quo menjadi hilang karena pengaturan pasal lain dalam UU a quo yakni Pasal 6, Pasal 136 dan Pasal 139 yang mengakibatkan hilangnya hak hukum tenaga honorer. Selain itu, Pasal 20 ayat (3), Pasal 109 ayat (2) dan ayat (3) juga dianggap menghilangkan kepastian hukum karena tidak konsistennya pengisian jabatan pimpinan tinggi oleh TNI/Polri. Selain itu, Pasal 77 dan Pasal 118 terkait sanksi yang tidak adil, Pasal 199 terkait tidak adanya pencantuman PTUN, serta terselipnya istilah fungsional umum dalam Pasal 131 dan Pasal 18 juga digugat karena dianggap menghilangkan kepastian hukum.
Wachid juga menganggap bahwa pengunaan kata “akan” dan hanya tercantumnya PNS dalam sumpah calon PNS pada Pasal 66 UU a quo telah bertentangan dengan asas kepastian hukum sebagaimana di atur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Ayat 2 Pasal 66 sumpah/janji PNS alasan penggunaaan kata akan, serta hanya tercantum PNS tanpa PPK, merugikan karena bertentangan dengan kepastian hukum pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1),” papar Wachid di hadapan panel hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Lebih lanjut, Wachid menyatakan bahwa keberadaan Pasal 137 UU a quo telah mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum karena menimbulkan penfasiran ganda terkait dengan gaji dan hak hukum. “Gaji pengaturannya berbeda bilamana dibandingkan dengan ayat (1) Pasal 79 yang intinya gaji merupakan kewajiban pemerintah pusat dan pada ayat (5) Pasal 79 frasa kata dibebankan pada APBD. Ini menciptakan penafsiran ganda dan tidak menjamin kepastian hukum,” urai Wachid.
Sedangkan terkait ketentuan yang dianggap merugikan para Pemohon yang berstatus tenaga honorer, lanjut Wachid, dalam UU a quo terdapat pada Pasal 6, Pasal 61, Pasal 136, dan Pasal 139. Pasal-pasal tersebut dinilai diskriminatif karena tidak adanya pengakuan terhadap tenaga honorer dan tidak adanya perbedaan antara pelamar umum dan honorer dalam proses menjadi PNS. Untuk itu dalam petitumnya, Pemohon meminta kepada majelis hakim untuk mengabulkan permohonannya serta menyatakan pasal-pasal yang dimohonkan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945.
Menanggapi apa yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi Aswanto mengklarifikasi identitas karena ada penambahan Pemohon. “Kita sudah nasehati dalam sidang pertama, bahwa dilihat contoh permohonan, bahwa harus lengkap identitasnya Pemohon,” kata Aswanto.
Karena adanya penambahan Pemohon, lanjut Aswanto, seharusnya seluruh Pemohon menandatangani permohonan. “Kecuali dia mengambil kuasa, ya kuasanya aja yang menandatangani permohonan, tapi kalau dia tidak punya kuasa semestinya Pemohon juga menandatangai permohonannya, ini ‘kan ngga ada, cuma saudara yang menandatangani,” urai Aswanto. Selanjutnya hakim panel akan melaporkan hasil sidang ke Rapat Permusyawaratan Hakim. (Triya IR).