Sebanyak 30 siswa-siswi SMK 26 Jakarta antusias menambah wawasannya soal Konstitusi. Mengenakan seragam putih-abu, para pelajar ini melangkah ke aula lantai dasar Gedung Mahkamah Konstitusi untuk berdiskusi, kemudian melanjutkan kunjungannya ke Pusat Sejarah Konstitusi di lantai 5 dan lantai 6 Gedung MK. Kedatangan mereka disambut oleh Peneliti MK Bisariyadi, Senin (16/3).
Mengawali paparannya, Bisar menjelaskan perihal kekuasaan dalam satu negara. Menurutnya, kekuasaan yang bersifat absolutisme atau yang hanya dimiliki oleh satu pihak memiliki kecenderungan untuk korupsi. Ia mencontohkan zaman Nazi di Jerman pada tahun 1933 sampai dengan 1945. Saat itu, kekuasaan dipegang oleh satu orang, yakni Adolf Hitler sehingga di Jerman pada masa itu sangat kuat unsur korupsinya. “Contoh lain adalah negara komunis, biasanya di sana hanya ada satu partai yang berkuasa, yaitu Partai Komunis,” ujarnya.
Atas dasar tersebut, jelasnya, maka kekuasaan dibagi-bagi ke dalam beberapa cabang. “Ada kekuasaan yang dibagi tiga, disebut trias politika, maupun yang dibagi 4, disebut catur praja,” imbuhnya. Namun, sistem kekuasaan yang lebih banyak dianut oleh negara-negara di dunia adalah trias politika. Trias politika membagi kekuasaan menjadi tiga kekuasaan dan cenderung seimbang, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ia menjelaskan, eksekutif adalah cabang kekuasaan pemerintah yang dipimpin oleh Presiden sebagai kepala negara, dibantu wakil presiden dan para menteri.
Sedangkan cabang kekuasaan legislatif disebut sebagai pembuat undang-undang. Sebelum Undang-Undang Dasar 1945 diubah pada tahun 1999-2002, Indonesia hanya mengenal satu cabang kekuasaan legislatif yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setelah perubahan uud 1945, dibentuk lembaga legislatif lain selain DPR, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Berbeda dengan DPR yang anggotanya terdiri dari partai politik, DPD merupakan lembaga yang terdiri dari perwakilan tiap provinsi. “Namun, kewenangan DPD dibatasi hanya membentuk undang-undang yang memiliki sifat kedaerahan, misalnya UU tentang pemerintahan desa dan UU tentang otonomi daerah,” jelasnya.
Terakhir, untuk cabang kekuasaan yudikatif, Bisar memaparkan sebelum perubahan UUD 1945, Indonesia hanya memiliki satu lembaga yudikatif, yakni Mahkamah Agung (MA). Sejalan dengan perubahan Konstitusi, yang salah satunya mengamatkan untuk segera membentuk Mahkamah Konstitusi, maka dibentuklah MK pada tahun 2003.
Ia menambahkan, terdapat perbedaan yang jelas antara MA dan MK, terutama dari segi kewenangannya. Selama ini, urainya, MA bertugas mengadili perkara-perkara yang dibagi ke dalam beberapa kamar, yakni kamar agama, kamar tata usaha negara, kamar militer, kamar pidana, dan kamar perdata. MA juga memiliki cabang di daerah-daerah, yakni pengadilan tinggi untuk tingkat provinsi dan pengadilan negeri di tingkat kabupaten/kota.
Sedangkan MK memiliki kewenangan yang sangat berbeda. Lembaga penjaga Konstitusi ini memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban yang semuanya bersifat politis. Dengan kata lain, kasus-kasus yang bersifat politis dibawa ke ranah hukum. Adapun kewenangan MK yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yakni menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sementara kewajiban MK yang diatur dalam Pasal 24C ayat (2) adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945. (Lulu Hanifah)