Tim Pakar Otonomi Khusus (Otsus) Kalimantan Timur, Aji Sofyan Effendi dan Hasanuddin Rahman Daeng Naja, kembali hadir dalam sidang uji Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2015 yang digelar pada Senin (16/3) di Ruang Sidang Pleno MK. Di hadapan panel hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Aswanto, pemohon menyampaikan perbaikan permohonan yang telah dilakukan.
Pemohon melakukan perbaikan dengan hanya mengajukan satu pasal dari UU APBN Tahun 2015 untuk diuji dari sebelumnya mengujikan empat pasal. Sebelumnya Pemohon memohon Pasal 11, Pasal 13, Pasal 17, dan Pasal 18 UU APBN tahun 2015 untuk diuji. “Sesuai dengan saran majelis hakim, kami memutuskan untuk menguji Pasal 10 ayat (3) UU APBN,” ujarnya.
Pasal 10 ayat (3) menyatakan “(3) Dana Alokasi Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dialokasikan sebesar 27,7% (dua puluh tujuh koma tujuh persen) dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) neto atau direncanakan sebesar Rp352.887.848.528.000,00 (tiga ratus lima puluh dua triliun delapan ratus delapan puluh tujuh miliar delapan ratus empat puluh delapan juta lima ratus dua puluh delapan ribu rupiah)”. Menurut Pemohon, permohonan uji materiil ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang APBN 2015 yang diajukan Pemohon adalah menyangkut tidak diuraikannya rasionalitas atas angka presentase dan tidak diuraikannya perincian distribusi angka nominal rupiah yang tertuang di dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang APBN 2015 tersebut. Pemohon menganggap dengan ketentuan dan bunyi Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang APBN 2015 tersebut berarti angka presentase dan angka nominal rupiah yang tertuang dalam ketentuan tersebut adalah tidak berdasar dan tidak ditetapkan secara terbuka dan bertanggung jawab.
“Dengan demikian ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang APBN 2015 tersebut telah bertentangan dengan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menentukan anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk kemakmuran kemakmuran rakyat,” jelasnya.
Selanjutnya, Pemohon menjelaskan dengan tidak diuraikannya rasionalitas dan angka presentase dan tidak diuraikannya perincian distribusi angka nominal rupiah yang tertuang di dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang APBN 2015 tersebut, maka angka presentase dan angka nominal rupiah yang tertuang dalam ketentuan tersebut akan menimbulkan kesalahan dan/atau penyimpangan dalam distribusinya kepada daerah-daerah yang berhak menerimanya. Hal ini seperti yang terjadi dan dan terbukti terdapat empat daerah termasuk Provinsi Kalimantan Timur yang tidak memperoleh dana alokasi umum atau alokasi dasar. “Hal ini telah merugikan hak-hak konstitusional warga dan penduduk Provinsi Kalimantan Timur dan dengan demikian Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang APBN 2015 tersebut telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” terangnya.
Dalam permohonan sebelumnya, Pemohon menilai efek lanjutan dengan adanya norma tersebut adalah tidak dapat dibayarnya gaji PNS di daerah oleh pemerintah pusat menyebabkan Pemprov, dalam hal ini Pemprov Kaltim, yang akan membayarnya. Pembayaran gaji PNS daerah tersebut menurut Hasanuddin diambil dari pos lain dalam APBD Provinsi Kaltim. Terpakainya pos lain dalam APBD dimaksud menurut Pemohon telah melanggar kedisiplinan anggaran dan penyalahgunaan anggaran. Dengan kata lain, telah terjadi pelanggaran hukum akibat dipakainya pos anggaran lain dalam APBD Provinsi Kaltim untuk melakukan pembayaran gaji PNS. Oleh karena itu, Pemohon menganggap Pasal 10 ayat (3) UU APBN Tahun 2015 telah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang mengamanatkan negara Indonesia sebagai negara hukum. Akibat lainnya, pembangunan infrastuktur di Provinsi Kaltim juga terganggu akibat pos anggarannya dipakai untuk membayar gaji PNS. (Lulu Anjarsari)