Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana Perkara Nomor 30/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan oleh Muhammad Hafidz, Wahidin dan Solihin dengan agenda pemeriksaan pendahuluan pada Kamis (12/3), di Ruang Sidang Pleno MK. Adapun ketentuan yang diujikan dalam perkara ini adalah Pasal 31A ayat (4) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA). Para Pemohon menganggap ketentuan tersebut telah merugikan hak-hak konstitusional mereka, terkait tertutupnya proses pemeriksaan persidangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang di MA.
“Para Pemohon tidak dapat mengetahui sejauh mana permohonannya diperiksa dan juga tidak bisa menghadirkan ahli atau saksi untuk didengar keterangannya, serta tanpa persidangan yang terbuka, para Pemohon tidak memiliki kesempatan untuk mengetuk pintu hati nurani hakim akan pentingnya permohonan yang diajukan,” urai Hafidz, di hadapan majelis sidang panel yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK, Anwar Usman.
Menurut Hafidz, kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan yang dimiliki oleh MA mempunyai karakteristik yang berbeda dengan kewenangan penyelesaian perselisihan oleh badan peradilan. Pengujian peraturan perundang-undangan, lanjut Hafidz, mempunyai karakteristik putusan yang bersifat final dan mengikat. Selain itu, putusan pengujian peraturan perundang-undangan akan mengikat bukan hanya kepada para pemohon, namun juga masyarakat pada umumnya.
“Nuansa public interest dalam pengujian ketentuan peraturan perundang-undangan, merupakan pembeda yang sangat jelas dengan perkara pidana, perdata dan tata usaha negara, yang pada umumnya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan individu lain atau pemerintah,” papar Hafidz.
Lebih lanjut, Hafidz menyatakan bahwa tidak adanya pengaturan tentang proses pemeriksaan dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang akan mengakibatkan tidak adanya batas-batas hukum bagi MA dalam menjalankan kewenangannya. “Akan menjadi liar karena tidak ada ukuran-ukuran hukum atau batas-batas hukum yang jelas bagi Mahkamah Agung dalam menjalankan wewenangnya, yaitu salah satunya untuk memeriksa dan memutus sebuah permohonan pengujian ketentuan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di atasnya,” kata Hafidz.
Untuk itu dalam petitumnya, Hafidz meminta putusan provisi kepada majelis hakim, yakni agar MA melakukan penundaan terhadap seluruh pemeriksaan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Selain itu, hafidz juga meminta agar majelis hakim mengabulkan permohonan dan menyatakan Pasal 31A ayat (4) UU a quo dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa permohonan pengujian peraturan perundang-undangan oleh MA diputus paling lama 14 hari, yang pemeriksaan dan pembacaan putusannya dilakukan melalui sidang terbuka untuk umum.
Menanggai permohonan tersebut, Majelis Panel memberikan masukan dan nasihat terhadap permohonan. Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta kepada Pemohon agar lebih memperkuat posita (alasan permohonan). Menurut Wahiduddin, Pemohon harus lebih menguraikan secara mendalam tentang landasan filosofi perlunya pemeriksaan dan pembacaan putusan yang dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum. Selain itu, Pemohon juga harus menguraikan aturan-aturan yang terkait dengan perlunya pemeriksaan dan pembacaan putusan yang dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta kepada Pemohon agar melampirkan tanda bukti kalau Pemohon mengajukan permohonan pengujian ke MA. Sebelumnya, para Pemohon sempat menyampaikan kepada majelis hakim bahwa mereka kini sedang mengajukan permohonan uji materi Peraturan Daerah Provinsi Daerah Jawa Barat Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan di MA. Selain itu, Suhartoyo juga meminta kepada Pemohon agar lebih mencermati dan meneliti lagi keberadaan peraturan yang mengatur pemeriksaan pengujian peraturan perundang-undangan di MA.
“Memang benar perlu diteliti dengan cermat apakah aturan-aturan itu enggak ada, atau memang ada, tapi kemudian hanya pada tataran implementasi yang bisa menjadi persoalan atau penafsiran,” kata Suhartoyo.
Sedangkan Hakim Konstitusi Anwar Usman menanyakan kepada para Pemohon apakah memang benar pasal yang akan diuji adalah Pasal 31A ayat (4), karena ketentuan tersebut hanya mengatur masalah batas waktu penyelesaian permohonan uji materiil di MA. Menurut Anwar, ketentuan yang lebih terkait dengan sidang yang terbuka untuk umum adalah Pasal 40 ayat (2). “Nah, kaitannya dengan pelaksanaan sidang, ya, jadi terutama masalah sidang yang terbuka untuk umum itu di Pasal 40 ayat (2), kok yang diuji Pasal 31. Apa memang maunya begitu, ya. Artinya mungkin belum mengkaji Pasal 40 ayat (2),” kata Anwar. Selanjutnya, para Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya.(Triya IR)