Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) yang dimohonkan oleh KONI, Rabu (11/3) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam putusannya Mahkamah berpendapat kewenangan Komite Olimpiade (KOI) dan KONI tidak saling tumpang tindih. Selain itu, lewat amar putusannya, Mahkamah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan frasa “komite olahraga” di dalam UU SKN merujuk kepada KONI.
Setelah menggelar serangkaian sidang dan memeriksa bukti-bukti, Mahkamah mengemukakan beberapa fakta. Antara lain, pada 1964, Pemerintah membentuk Dewan Olahraga Republik Indonesia (DORI) yang meleburkan semua organisasi olahraga, termasuk KOI ke dalamnya. Pada 1966, Presiden Soekarno menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 143A dan 156A 1966 mengenai pembentukan KONI sebagai pengganti DORI. Namun KONI tidak berfungsi karena tidak didukung oleh induk organisasi olahraga. Selanjutnya untuk mengukuhkan keberadaan KONI, Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden masing-masing Nomor 57 Tahun 1967, Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1984, dan Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2001 tentang Komite Olahraga Nasional Indonesia.
Terkait dengan frasa “komite olahraga” dalam Pasal 36 ayat (1) UU SKN, Mahkamah berpendapat frasa tersebut tidak menimbulkan multitafsir. Sebab, pembentukan UU SKN tidak hanya dimaksudkan untuk membentuk satu organisasi keolahragaan nasional sebagai wadah tunggal dari cabang olahraga. Namun, UU SKN memungkinkan adanya beberapa organisasi keolahragaan nasional yang dibentuk oleh induk cabang olahraga.
Mahkamah juga berpendapat pemaknaan yang tepat terhadap frasa “komite olahraga” yang terdapat dalam Pasal 36 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 37 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 38 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 39, Pasal 46 ayat (2) UU SKN tersebut adalah bahwa Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) merupakan salah satu bagian di dalamnya. Dengan kata lain, frasa “komite olahraga” yang terdapat dalam pasal-pasal a quo akan menjadi bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Komite Olahraga Nasional Indonesia dan komite olahraga nasional lainnya”. Hal ini ditegaskan kembali dalam amar putusan Mahkamah.
“ Frasa ‘komite olahraga’ yang tercantum dalam Pasal 36 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 37 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 38 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 39, Pasal 46 ayat (2) UU Sistem Keolahragaan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘Komite Olahraga Nasional Indonesia dan komite olahraga nasional lainnya’,” tegas Arief Hidayat yang didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Sementara itu, terkait dalil Pemohon mengenai tugas KOI yang bersifat sementara sehingga keberadaan KOI hanya bersifat ad hoc, atau setidak-tidaknya KOI dibentuk oleh KONI (Pemohon), Mahkamah menganggap dalil tersebut tidak beralasan menurut hukum. Terhadap dalil sifat ad hoc KOI, menurut Mahkamah sekalipun pekan olahraga internasional yang dilaksanakan oleh KOI tersebut diselenggarakan pada waktu tertentu, namun keberadaan KOI bukan merupakan organisasi olahraga yang bersifat ad hoc atau sementara. Sebab, pelaksanaan kegiatan olahraga internasional dilaksanakan secara teratur dan berkesinambungan.
Dalil Pemohon lainnya yang dianggap tidak beralasan menurut hukum yakni dalil mengenai KOI dibentuk oleh KONI yang merupakan satu-satunya wadah tunggal dari organisasi cabang olahraga. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa menurut sejarahnya, KONI dan KOI adalah lembaga yang berbeda. Demikian pula penempatan kedua lembaga tersebut dalam UU SKN juga berada pada Bab yang berbeda. KONI diatur dalam Bab VIII tentang PENGELOLAAN KEOLAHRAGAAN, khususnya Pasal 36. Sedangkan keberadaan KOI diatur dalam Bab IX tentang PENYELENGGARAAN KEJUARAAN OLAHRAGA, khususnya Pasal 44. “Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil Pemohon bahwa KOI dibentuk oleh KONI adalah tidak beralasan menurut hokum,” ujar Hakim Konstitusi Muhammad Alim. (Yusti Nurul Agustin)