Asosiasi Pengusaha Kontraktor Seluruh Indonesia (APAKSINDO) menegaskan bahwa alat berat seperti bulldozer, ekskavator, dan lainnya merupakan alat konstruksi dan tidak memakai jalan raya seperti kendaraan bermotor. Oleh karena itu, alat berat tidak dapat dikategorikan ke dalam kendaraan bermotor.
Hal ini disampaikan oleh Syahrial selaku perwakilan APAKSINDO dalam sidang pengujian Undang-Undang No. 21 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (11/3) di Ruang Sidang MK. Perkara dengan Nomor 3/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh tiga perusahaan kontraktor, yaitu PT Tunas Jaya Pratama, PT Multi Prima Universal, dan PT Marga Maju Japan.
“Alat berat yang disewakan oleh APAKSINDO tidak pernah menggunakan jalan raya seperti kendaraan bermotor yang tercantum dalam UU LLAJ. Apabila dipindahkan, alat berat tersebut akan diangkut menggunakan trailer dan tidak memungkinkan untuk dijalankan sendiri di jalan raya karena justru akan merusak alat berat itu sendiri,” jelas Syahrial yang menjadi Saksi Pemohon dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Syahrial mencontohkan, alat berat yang saat ini sedang beroperasi di Jalan Sudirman, Jakarta, bukan berarti menggunakan jalan raya. Alat berat tersebut sedang melakukan pekerjaan untuk membangun konstruksi, seperti monorail yang akan dibangun di Jalan Sudirman. Lagipula, struktur dan bentuk dari alat berat berbeda dengan kendaraan bermotor, jadi tidak bisa disamakan. “Bulldozer dan lainnya tidak memiliki ban seperti kendaraan bermotor. Jadi seharusnya tidak termasuk ke dalam kategori kendaraan bermotor,” tambahnya.
Selain saksi, Pemohon juga menghadirkan ahli, salah satunya Susy Fatena Rostiyanti, dosen Teknik Sipil Universitas Bakrie. Dalam keterangannya, Susy memaparkan mengenai perbedaan alat berat dengan kendaraan bermotor. Menurutnya, alat berat tidak memliki ukuran kecepatan seperti yang dimiliki oleh kendaraan bermotor. “Kebisingan yang ditimbulkan oleh alat berat juga memiliki tingkat kebisingan yang jauh melampaui kebisingan kendaraan bermotor,” tuturnya.
Selain itu, jika pengendara kendaraan bermotor disebut pengemudi dan harus memiliki surat izin mengemudi, maka pengendara alat berat disebut operator. Operator, lanjut Susy, juga memiliki izin berupa sertifikat dari Menaker yang diperoleh melalui beberapa pelatihan. “Maka dapat disimpulkan dari segala perbedaan tersebut, maka alat berat tidak dapat disamakan dengan kendaraan bermotor. Alat berat hanyalah alat untuk membantu manusia membangun kontruksi dan pergerakannya statis,” tandasnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh ahli pemohon lainnya. Suwardjoko Warpani. Ahli teknik planologi tersebut menjelaskan perbedaan antara kendaraan bermotor dan alat berat. Ia menekankan alat berat tidak identik dengan kendaraan bermotor baik dari sisi penampilan, fungsi, rancang bangun, dan kelengkapan. “Dimensi alat berat tidak sesuai, tidak memenuhi syarat untuk melaju di jalanan. Alat berat tidak mungkin memenuhi persyaratan-persyaratan kendaraan bermotor, sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Lalu lintas Angkutan Jalan. Selain itu, alat berat tidak mungkin memenuhi perlengkapan kendaraan bermotor, sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan. Jadi meskipun bermotor, alat berat bukan kendaraan bermotor,” paparnya.Dalam pokok permohonannya, para pemohon yang diwakili oleh Ali Nurdin selaku kuasa hokum, merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan diberlakukannya Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ. Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ berbunyi: “Yang dimaksud dengan “kendaraan khusus” adalah kendaraan bermotor yang dirancang khusus yang memiliki fungsi dan rancang bangun tertentu, antara lain: c. alat berat antara lain: bulldozer, traktor, mesin gilas (stoomwaltz), forklift, loader, exvacator, dan crane”. UU LLAJ menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor. “Disamakannya alat berat dengan kendaraan bermotor berdampak pada akhirnya para pemohon tidak dapat bekerja,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Menurut Pemohon, alat berat jika dilihat dari fungsinya merupakan alat produksi. Berbeda dengan kendaraan bermotor yang berfungsi sebagai moda transportasi baik barang maupun orang. Dengan kata lain, secara fungsional, alat berat tidak akan pernah berubah fungsi menjadi moda transportasi barang maupun orang. Para Pemohon memiliki dan/atau mengelola alat-alat berat berupa antara lain: crane, mesin gilas (stoomwaltz), excavator, vibrator, dump truck, wheel loader, bulldozer, tractor, forklift, dan batching plant yang digunakan melakukan aktivitas usahanya.
Dengan menyamaratakan antara alat berat dengan kendaraan bermotor maka alat berat diharuskan mengikuti uji tipe dan uji berkala seperti halnya kendaraan bermotor. Pemohon berpendapat, persyaratan uji tipe dan uji berkala sebagaimana diatur dalam ketentuan tersebut tidak mungkin dan tidak pernah dapat dipenuhi oleh alat berat karena karakteristik alat berat tidak pernah sama dengan kendaraan bermotor.
Alat berat diharuskan memiliki perlengkapan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam UU LLAJ, padahal alat berat yang dimiliki para Pemohon tidak memiliki alat pendongkrak dan pembuka roda dikarenakan alat berat tidak memiliki ban. Selain itu, alat berat juga harus diregistrasikan dan diidentifikasi seperti halnya kendaraan bermotor sebagaimana diatur dalam Pasal 64 UU LLAJ yang pada pokoknya kendaraan bermotor diharuskan diregistrasi guna mendapatkan sertifikat uji tipe, padahal alat berat tidak dapat dilakukan uji tipe. (Lulu Anjarsari)