Mahkamah Konstitusi memutus menolak permohonan Bripda Daniel Liunome, yang mengajukan permohonan Pengujian Pasal 67 huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA).
Dalam sidang pengucapan putusan perkara nomor 81/PUU-XII/2014 yang dipimpin oleh ketua MK, Arief Hidayat, Mahkamah berpendapat, terhadap pasal yang mengatur penggunaan novum dalam pengajuan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara perdata, hal tersebut merupakan sebuah upaya hukum luar biasa yang dapat dilakukan oleh pencari keadilan untuk memperoleh perubahan terhadap putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Salah satu alasan untuk pengajuannya adalah jika setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, lalu ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan (novum) yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan. Menurut Mahkamah PK merupakan sebagai salah satu bentuk jaminan perlindungan akan kepastian hukum dalam melakukan proses hukum (due process of law), yang diberikan oleh negara hukum yang demokratis kepada warga negaranya.
Lebih lanjut, dalam sidang yang digelar pada hari Rabu (11/03), terhadap argumentasi pemohon yang menyatakan ketentuan tersebut mengakibatkan kerugian konstitusional pemohon karena merasa diperlakukan diskriminatif, Mahkamah menilai dasar pengujian tersebut adalah tidak tepat. Sebagaimana dalam putusan-putusan Mahkamah terdahulu, pengertian perlakuan diskriminatif yang dimaksudkan oleh Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 adalah memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama. Sebaliknya bukan perlakuan diskriminatif jika memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang memang bebeda (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-V/2007, bertanggal 22 Februari 2008).
“Ketentuan dapat dikatakan bersifat diskriminatif yaitu jika di dalamnya terkandung sifat membeda-bedakan orang yang didasarkan atas agama, ras, suku, bahasa, jenis kelamin, keyakinan politik atau status sosial tertentu,” kata Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang membacakan bagian pertimbangan itu.
Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-VI/2008, bertanggal 10 Juli 2008 sebagaimana juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Dari definisi perlakuan diskriminatif tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 67 huruf b UU 14 Tahun 1985 justru memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengajukan PK jika menemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan. Selain itu ketentuan tersebut juga tidak menghalangi seseorang, siapapun, untuk mendapatkan keadilan (access to justice).
Bukan kewenangan MK
Terhadap persoalan hukum yang Pemohon hadapi, yang menurut Pemohon merupakan perlakuan diskriminatif akibat berlakunya Pasal 67 huruf b UU MA yang membuka peluang bagi hakim untuk berpihak, menurut Mahkamah dalam memutus PK, hakim mempunyai wewenang untuk secara independen melakukan penafsiran terhadap ketentuan Undang-Undang yang dinilai belum jelas.
Dalam pendapatnya Mahkamah berpandangan, seandainya pun benar, ketentuan tersebut dianggap melanggar ketentuan dalam UUD 1945, hal itu semata-mata merupakan masalah penerapan atau implementasi undang-undang sehingga hal tersebut bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma. Mahkamah menilai apa yang dipersoalkan pemohon lebih kepada masalah pengaduan konstitusional (constitutional complaint) di mana MK tidak diberi dan tidak diatur dalam UUD 1945.
Dengan demikian menurut Mahkamah, Pasal 67 huruf b UU MA justru memberikan kepastian hukum, karena membuka kesempatan kepada para pihak untuk mengupayakan keadilan dalam melakukan proses hukum di pengadilan. Sebaliknya apabila permohonan tersebut dikabulkan maka tidak ada dasar hukum dalam mengajukan PK pada perkara perdata jika ada bukti surat/tertulis yang ditemukan setelah putusan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum, dan menyatakan menolak permohonan pemohon.
Sebelumnya Bripda Daniel Liunome yang diberhentikan dengan tidak hormat sebagai anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri), mengajukan gugatan perdata atas surat pemecatan dengan tidak hormat yang dikeluarkan Polri terhadap dirinya. Dalam perjalannya pemohon sempat dimenangkan oleh pengadilan. Namun pada proses PK, MA memutus menerima novum yang diajukan Kepolisian Daerah Metro Jaya serta menolak novum yang diajukan pemohon.
Dengan latar belakang itulah pemohon mengajukan permohonan pengujian UU MA ke MK, karena merasa diperlakukan diskriminatif akibat berlakunya Pasal 67 huruf b UU MA yang berbunyi “Permohonan Peninjauan Kembali Putusan Perkara Perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: ... huruf (b): apabila setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan”. Dalam argumentasinya pemohon menyatakan MA telah berpihak kepada Polri. (Ilham)