Sebanyak 30 orang yang tergabung sebagai peserta Diklat Kepemimpinan Tingkat III Angkatan XLIV, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI (Balitbang dan Diklat Kemenag RI) mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (11/3) siang. Selain untuk melakukan silaturahmi, kunjungan peserta diklat yang merupakan pejabat eselon III dan IV Kemenag yang dari seluruh Indonesia itu juga bertujuan untuk mengenal lebih dekat MK. Kedatangan mereka disambut oleh Kepala Bidang Penelitian dan Pengkajian MK, Wiryanto di aula lantai dasar gedung MK.
Pada kesempatan itu, Wiryanto memaparkan materi tentang sejarah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan proses terbentuknya MK. Munurut Wiryanto, perubahan UUD 1945 yang terjadi pada era reformasi telah menghasilkan berbagai perubahan, salah satunya adalah terbentuknya MK. Era reformasi, lanjut Wiryanto, memang ditujukan untuk mengoreksi sistem ketatanegaraan Indonesia.
Adapun latar belakang perubahan tersebut antara lain karena adanya kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi, adanya pasal yang luwes sehingga bisa ditafsirkan sesuai keinginan penguasa. Banyaknya ketentuan yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk mengatur hal-hal yang penting dengan sebuah undang-undang juga menjadi salah satu alasan. Selain itu, rumusan konstitusi pada waktu itu belum mendukung kehidupan yang demokratis dan Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga setelah perubahan, pengaturan tentang HAM diatur secara khusus.
“Maka kalau kita lihat Bapak Ibu dalam undang-undang ini kita ketahui di dalamnya khusus untuk HAM itu diatur sendiri dalam Pasal 28,” papar Wiryanto.
Namun ditegaskan oleh Wiryanto, bahwa dalam melakukan perubahan UUD 1945, terdapat beberapa kesepakatan yang tidak boleh dilanggar. Kesepakatan itu antara lain, tidak mengubah pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mempertegas sistem pemerintahan presidensial, penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal dan melakukan perubahan dengan cara adendum.
Setelah dilakukannya perubahan, lanjut Wiryanto, terdapat beberapa perbedaan yang signifikan dan jarang disadari oleh masyarakat. Perbedaan tersebut antara lain bahwa UUD 1945 sebelum perubahan hanya terdiri dari 16 Bab, setelah perubahan terdapat 21 Bab. Jumlah pasal yang dahulunya hanya 27, setelah perubahan menjadi 73 pasal. Sedangkan jumlah ayat yang dulunya 49, kini menjadi 170 ayat. Menurut Wiryanto, perubahan tersebut dikarenakan adanya kesepakatan bahwa penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal.
”Dalam kesepakatan tadi sudah disepakati bahwa norma-norma yang di dalam penjelasan dimasukkan menjadi norma di dalam pasal-pasal, ini yang penting, oleh karena itu, sekarang menjadi suatu pasal yang sedemikian banyak dan ayat yang sedemikian banyak,” urai Wiryanto.
Kemudian terkait dengan kewenangan MK, Wiryanto menyatakan bahwa MK mempunyai empat kewenangan dan satu kewajiban konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, yakni mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajiban konstitusional MK yakni memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
“Oleh karena itu, tadi di depan, Mahkamah Konstitusi itu adalah Mahkamah yang menyelesaikan perkara di bidang ketatanegaraan,” pungkas Wiryanto. Setelah mendengar pemaparan, para peserta diklat kepemimpinan Kemenag berkesempatan untuk mengunjungi Pusat Sejarah Konstitusi yang berada di lantai 5 dan 6 Gedung MK. (Triya IR).