Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan uji materi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) - Perkara No. 25/PUU-XIII/2015 - pada Rabu (11/3) siang. Pemohon adalah Viktor Santoso Tandiasa dkk dari Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) yang merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 32 ayat (2) UU KPK.
Dalam persidangan, Pemohon menyampaikan kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna bahwa Pemohon telah memperbaiki permohonannya sesuai dengan nasihat hakim pada sidang sebelumnya. Di antaranya, Pemohon telah melakukan penegasan terhadap kedudukan hukum Pemohon dengan lebih spesifik.
Selain itu Pemohon telah memperjelas dan mempertajam setiap dalil-dalil permohonannya. “Kami telah memperbaiki dalil-dalil permohonan. Dalam dalil-dalil permohonan sesungguhnya ada empat perspektif yang dapat dilihat di sana. Pertama dari perspektif administratif. Kedua, perspektif pidana. Setelah itu perspektif hak asasi manusia, dan terakhir perspektif hukum tata negara,” kata Pemohon.
“Pada intinya adalah kedudukan seorang tersangka dari perspektif pidana belumlah dinyatakan bersalah menurut hukum. Begitu pun dari perspektif administratif karena proses pemberhentian sementara sesungguhnya adalah proses administratif yang harus kemudian dinyatakan bersalah menurut hukum,” tambah Pemohon.
Usai mendengarkan perbaikan permohonan Pemohon, Majelis Hakim Konstitusi melakukan pengesahan bukti tertulis yang diajukan oleh Pemohon. “Ada yang mau disampaikan lagi? Tidak ada ya, cukup. Kalau demikian, permohonan ini akan kami laporkan dulu kepada sembilan Hakim Konstitusi, apakah nanti ini akan diteruskan ke pleno atau cukup di pemeriksaan panel. Semua nantinya tergantung pada putusan Rapat Permusyawaratan Hakim. Dengan demikian maka persidangan untuk hari ini kami nyatakan ditutup,” ujar I Dewa Gede Palguna.
Seperti diketahui, Pemohon adalah Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) yang merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 32 ayat (2) UU KPK yang mengatur pemberhentian sementara pimpinan KPK ketika menjadi tersangka tindak pidana kejahatan. Pasal ini dinilai telah mengakibatkan tidak adanya kesamaan yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terhadap KPK dibandingkan dengan penegak hukum lain, khususnya kepolisian. Karena UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri tidak mengatur pemberhentian apabila pimpinan Polri menjadi tersangka.
Menurut Pemohon, keberadaan Pasal 32 ayat (2) UU KPK mengakibatkan pimpinan KPK dengan mudah diberhentikan sementara oleh Presiden, dengan adanya penetapan tersangka oleh Polri. Padahal belum tentu status tersangka tersebut dinaikkan menjadi terdakwa. Proses penetapan tersangka oleh Polri dapat dilakukan hanya dengan bukti permulaan yakni laporan polisi dan satu alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP.
Pemohon menilai, kewenangan tersebut sangat besar dan dalam pelaksanaannya dapat memungkinkan terjadinya manipulasi kasus, hanya untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka saja. Berlakunya aturan ini dinilai berpotensi mengakibatkan KPK tidak dapat berfungsi efektif dan optimal dengan adanya penetapan tersangka terhadap pimpinan KPK. Terlebih jika penetapan tersangka dilakukan kepada seluruh pimpinan KPK, sehingga membuat KPK mengalami kekosongan posisi pimpinan. (Nano Tresna Arfana)