Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang permohonan uji materi UU No. 2/2002 tentang Polri, UU No.3/ 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No.34/2004 tentang TNI, dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden, DPR, TNI dan Polri, di ruang Sidang Pleno MK, pada Selasa (10/3). Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 22/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh Denny Indrayana, Feri Amsari, Hifdzil Alim dan Ade Irawan, yang mempersoalkan konstitusionalitas pengaturan keterlibatan DPR dalam pengangkatan, pemberhentian Kapolri dan Panglima TNI.
Dalam kesempatan itu, DPR yang diwakili oleh Syarifuddin Suding mempersoalkan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. Menurut Suding, Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah Pemohon adalah pihak yang dirugikan, karena dalam pandangan DPR tidak ada kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon. “DPR berpandangan secara formil tidak ada kerugian secara normatif yang terbukti yang dapat menimbulkan kerugian secara konstitusional bagi Pemohon,” papar Suding di hadapan majelis hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Kemudian terkait dengan materi permohonan, Suding menyatakan bahwa sebagai konsekuensi suatu negara hukum modern, sistem politik Indonesia telah membentuk sebuah konfigurasi lembaga negara saling mengontrol dan mengimbangi (checks and balances) untuk memungkinkan adanya pengawasan publik yang diakomodasi melalui lembaga perwakilan. Lebih lanjut, Suding menyatakan bahwa keterlibatan DPR dalam pengangkatan pejabat publik merupakan bagian dari fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR, sehingga pengawasan DPR dapat berjalan secara efektif. “Pada awalnya urgensi pengangkatan pejabat publik yang memerlukan campur tangan DPR merupakan varian dari fungsi pengawasan yang dimiliki DPR, agar pengawasan tersebut dapat berjalan secara efektif, maka sejak awal DPR sudah ikut menentukan orang yang akan melaksanakan pekerjaan tersebut,” papar Suding, yang juga Anggota Komisi 3 DPR.
Selanjutnya, Presiden diwakili kuasanya Agus Hariadi, juga menyatakan bahwa keterlibatan DPR dalam pengangkatan, pemberhentian Kapolri dan Panglima TNI merupakan bentuk saling kontrol dan mengimbangi antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. “Mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dan panglima TNI yang menghendaki persetujuan DPR adalah dalam rangka mekanisme check and balances sehingga kekuasaan eksekutif dan legislatif dapat saling mengawasi,” papar Agus, Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM.
Lebih lanjut, Agus menegaskan bahwa keterlibatan DPR ini juga dalam rangka menghindari kesewenang-wenangan Presiden dalam menggunakan kekuasaannya sebagaimana yang terjadi pada masa yang lalu. Agus mencontohkannya dengan mekanisme pengangkatan terhadap Khaerudin Ismail sebagai Kapolri yang dilakukan tanpa persetujuan DPR dan kemudian menimbulkan kegaduhan serta ketidakstabilan politik.
Dari pihak terkait, TNI yang diwakili oleh Mayjen Supriyatna menyatakan bahwa meskipun pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI merupakan hak prerogatif presiden, namun tetap memerlukan suatu kontrol dari DPR sebagai penyeimbang (check and balances). Lebih lanjut, Supriyatna menyatakan bahwa tanpa adanya keterlibatan DPR dalam pengangkatan Panglima TNI, maka muncul kekhawatiran terjadinya praktik KKN.
“Apabila pengangkatan Panglima TNI dilakukan oleh Presiden secara langsung, tanpa mendapat persetujuan dari DPR, maka tidak menutup kemungkinan dalam proses pembahasan penentuan dan pengangkatan tersebut terdapat faktor kedekatan, kepentingan politik, dan lain-lain yang berpeluang untuk menimbulkan praktik KKN,” papar Supriyatna.
Sementara itu, Bigjen Pol. Sigit, mewakili Polri menyatakan bahwa strategisnya kedudukan Polri dalam kegiatan politik menjadikan Polri memiliki nilai yang penting, sehingga dapat memunculkan keterpengaruhan politik terhadap Polri. Posisi yang strategis ini dapat diketahui misalnya dalam hal pengamanan Pemilu dan Pilkada. Untuk itu, Sigit menyatakan diperlukannya check and balances, sehingga kekuasaan eksekutif dan legislatif bisa saling melakukan pengawasan terhadap kekhawatiran pengaruh politik yang akan mengganggu independensi Polri. “Dengan pertimbangan nilai strategis tersebut diperlukan adanya check and balances sehingga kekuasaan eksekutif dan legislatif bisa saling melakukan pengawasan terhadap kekhawatiran pengaruh politik yang akan mengganggu independensi Polri,” papar Sigit, yang menjabat Kepala Biro Penyusunan Hukum Mabes Polri.
Berdasarkan argumentasi itu, baik DPR, Pemerintah, TNI maupun Polri meminta kepada majelis hakim konstitusi agar menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Setelah mendengarkan keterangan dari DPR, Pemerintah dan pihak terkait, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar ingin mendapatkan pendalaman materi dari DPR dan Pemerintah terkait dengan hubungan antara sistem persidensil dengan persetujuan pengangkatan Panglima TNI dan Polri. “Jadi kami ingin sedikit, mungkin bisa tertulis Pak Syarifudin Suding karena DPR tentu lebih banyak sumber tentang masalah kajian relasi antara sistem presidensil dengan persetujuan kedua lembaga ini,” tutur Patrialis. (Triya IR).