Norma yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) telah sejalan dengan amanat konstitusi, terutama dalam memberikan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum bagi para pekerja. Pernyataan ini disampaikan oleh Ruslan Irianto Simbolon, selaku Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), yang mewakili Presiden dalam memberikan keterangan pada sidang uji materi UU PPHI yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (10/3), di ruang Sidang Pleno MK.
“Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 telah sejalan dengan amanat konstitusi, utamanya dalam memberikan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum bagi pekerja, buruh itu sendiri,” kata Ruslan di hadapan majelis yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Dalam kesempatan itu, Ruslan juga menyatakan bahwa adanya ketidaksepakatan dalam perundingan penyelesaian perselisihan hubungan kerja memang tidak dapat dihindarkan. Namun menurutnya, apabila tidak tercapai kesepakatan, pengusaha hanya dapat melakukan PHK setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Hal ini berarti, bahwa pengusaha tidak dapat melakukan PHK secara sepihak dan semena-mena tanpa adanya kesepakatan bersama maupun penetapan dari instansi yang berwenang. Ketika proses tersebut tidak dilalui, maka PHK yang dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja menjadi batal demi hukum (null and void).
Selain itu, Ruslan juga menyatakan bahwa mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yakni perundingan antara pengusaha dan pekerja (bipartit), penyelesaian melalui mediasi (tripartit) dan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), telah memberikan keleluasaan bagi para pihak dalam menyelesaikan perselisihan. “Ketentuan ini telah memberikan keleluasaan dan kesempatan kepada para pihak, untuk menggunakan alternatif mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang tersedia, untuk mendapatkan penyelesaian secara cepat, tepat, adil dan murah,” papar Ruslan.
Lebih lanjut, menangapi materi permohonan, Ruslan menyatakan bahwa dalil Pemohon yang menyatakan jika pengusaha tidak mengajukan permohonan ke PHI maka buruh kehilangan jaminan perlindungan dan kepastian hukum atas hubungan kerjanya sehingga buruh terpaksa untuk melakukan gugatan, adalah kabur (obscuur libel). Selain itu, Ruslan menambahkan bahwa Pemohon juga keliru dalam menafsirkan Pasal 81 UU a quo, karena dengan adanya ketentuan ini, maka justru akan memberikan perlindungan dan kepastian hukum. Karena apabila pekerja ingin mengajukan gugatan ke PHI, maka diberikan kesempatan untuk berperkara di PHI dan pekerja tidak dikenai biaya, termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah 150 juta.
“Oleh karena itu, terhadap anggapan para pemohon yang mendalilkan pasal 81 UU a quo, para Pemohon diberikan kesempatan untuk dapat memperoleh hak-haknya secara adil di pengadilan,” papar Ruslan.
Menanggapi penjelasan tersebut, Hakim Konstitusi Partrialis Akbar menanyakan, baik kepada pemerintah maupun kepada Pemohon, tentang praktik penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Terkait hal tersebut, Ruslan menyatakan bahwa perselisihan pada umumnya dapat diselesaikan dalam tinggkat pertama, yakni melalui perundingan. Namun, apabila ada salah satu pihak tidak menerima kesepakatan maka bisa meminta kepada mediator untuk melakukan mediasi. Jika nanti mediasi ternyata gagal, maka pihak bisa mengajukan gugatan ke PHI.
Sementara Pemohon yang diwakili Muhammad Hafidz menyatakan bahwa secara umum Pemohon tidak menyangkal apa yang disampaikan oleh Pemerintah. Namun dalam praktiknya pengusaha sering kali tidak pernah mengajukan permohonan PHK ke PHI. Hal ini karena dalam UU Ketenagakerjaan maupun UU PPHI tidak terdapat sanksi apabila pengusaha tidak melakukan permohonan ke PHI pascamediasi yang tidak ditemukan kesepakatan.
“Dari laporan tahunan Mahkamah Agung Tahun 2013, yang saya sangat yakin Kementerian enggak punya data ini, bahwa dari 2.991 perkara yang mengajukan buruh karena dia di-PHK sepihak oleh pengusaha itu sebanyak 2.641 perkara. Artinya 80% sampai 90% pekerja yang di-PHK sepihak karena pengusahanya tidak mengajukan permohonan, mau tidak mau pekerja mengajukan gugutan ke pengadilan hubungan industrial,” papar Hafidz.
Beda Pengaturan
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo mencermati adanya pengaturan yang berbeda dalam UU Ketenagakerjaan dan UU PPHI terkait mekanisme penyelesaian perselisihan PHK. Pada UU PPHI diatur bahwa PHK diajukan melalui gugatan contentiosa, sedangkan dalam UU Ketenagakerjaan diatur bahwa PHK diajukan melalui gugatan voluntair.
Terhadap perbedaan tersebut, Pemerintah memilih untuk tidak memberikan tanggapan dan menyatakan menyerahkan hal tersebut kepada majelis hakim konstitusi. “Yang Mulia, terima kasih banyak. Untuk hal dimaksud tadi kami serahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia. Terima kasih,” papar Ruslan.
Sebagai informasi, yang dimaksud gugatan contentiosa (lebih dikenal dengan gugatan perdata), adalah gugatan yang mengandung sengketa di antara dua pihak atau lebih. Karena permasalahan yang diajukan dan diminta diselesaikan dalam gugatan adalah sebuah sengketa, maka penyelesaian sengketa di pengadilan melalui proses sanggah menyanggah. Dalam gugatan contentiosa, yang mengajukan penyelesaian sengketa adalah penggugat, sedangkan pihak lawan dalam penyelesaian tersebut disebut tergugat, sehingga dalam konteks penyelesaian penyelesaian hubungan industrial, pengusaha maupun buruh dapat menjadi penggugat maupun tergugat.
Sedangkan gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Gugatan Voluntair diajukan dalam bentuk permohonan dan tidak mengandung sengketa, sehingga tidak ada pihak lawan. Dalam konteks perselisihan hubungan industrial, gugatan voluntair ini disebutkan dalam Pasal 152 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yakni:
“Permohonan penetapan pemutuskan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya”.
Ketentuan ini yang kemudian dimaknai oleh Pemohon bahwa penggunaan gugatan contentiosa (mengandung sengketa) dalam UU PPHI adalah tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, di mana diatur bahwa penyelesaian PHK diajukan melalui gugatan voluntair (permohonan). Untuk itu, digunakannya model gugatan contentiosa dalam PHI, dianggap buruh telah merugikan hak-hak konstitusionalnya, karena ada ketidakseimbangan sumber daya antara buruh dan pengusaha, sehingga buruh merasa mekanisme contentiosa sebagaimana dianut dalam UU PPHI lebih menguntungkan pihak pengusaha.
Unutk itu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna juga sempat mengklarifikasi kepada Pemohon tentang beban pembuktian dalam gugatan contentiosa. Menjawab pertanyaan itu, Hafidz menyatakan bahwa memang benar beban pembuktian terdapat pada buruh. (Triya IR)