Sebanyak 23 mahasiswa dan mahasiswi dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Tulungagung mengunjungi Mahkamah Konstitusi. Para calon guru Pendidikan Kewarganeraan tersebut berkunjung untuk memperdalam pengetahuannya tentang Konstitusi, khususnya MK.
Kedatangan mereka disambut oleh Peneliti MK Syamsudin Noer di aula lantai dasar Gedung MK. Syamsudin mengawali paparan dengan berbagi pengalamannya sebagai guru Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila yang dulu bernama Mata Pelajaran Tata Negara. “Pelajaran PKn ini menarik karena berada di dua ranah, yakni antara hukum dan politik,” ujarnya, Selasa (10/3).
Syamsudin bercerita, saat menjadi mahasiswa S2, ia sempat bertanya pada Ketua MK Periode Pertama Jimly Asshiddiqie perihal digantinya Mata Pelajaran Tata Negara menjadi PKn di Sekolah Menengah Atas. “Prof. Jimly menjawab sudah tepat itu karena Tata Negara lebih tepat menjadi disiplin ilmu, yakni Hukum Tata Negara,” imbuhnya.
Terkait Mahkamah Konstitusi, ia menjelaskan kewenangan MK yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yakni menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum dengan putusan yang bersifat final dan mengikat. Lembaga peradilan yang lahir karena amandemen Konstitusi ini menjadi wujud negara demokrasi yang berlandaskan hukum.
Kewenangan MK untuk menguji undang-undang dinilai Syamsudin menjadikan MK sebagai negative legislator dengan DPR sebagai positive legislator. Kewenangan tersebut juga membuat MK menjadi penafsir terakhir UUD 1945. “Apabila warga negara merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena adanya suatu norma dalam satu undang-undang, bisa mengajukan gugatan ke MK dan dapat dikabulkan. Luar biasa sekali, undang-undang yang dibentuk oleh sekitar 560 orang (anggota DPR) bisa dibatalkan oleh sembilan orang (hakim konstitusi),” jelasnya.
Menjawab pertanyaan salah satu mahasiswa terkait kekosongan hukum apabila suatu norma dibatalkan, Syamsudin menjawab hukum sifatnya dinamis. Ia mengikuti peristiwa-peristiwa yang terjadi. Apabila sebuah undang-undang yang digugat kemudian dikabulkan, konsekuensi hukum sebelum pembatalan masih berlaku. “Contohnya adalah UU Sumber Daya Air yang digugat oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah kemudian dikabulkan MK. Dengan dibatalkannya UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, maka UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan berlaku kembali,” jelasnya.
Selain berdiskusi dengan Peneliti MK, para calon guru juga berkesempatan mengunjungi Pusat Sejarah Konstitusi yang berada di lantai 5 dan 6 Gedung MK. Di Pusat Sejarah yang baru diresmikan pada Desember 2014 lalu, pengunjung dapat mempelajari sejarah kemerdekaan, amandemen UUD 1945, dan sejarah MK dengan teknologi mutakhir. (Lulu Hanifah)