Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan dosen dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Acara yang dihadiri sekitar 40 mahasiswa tersebut berlangsung di Aula Lantai Dasar Gedung MK pada Selasa (10/3). Pada kesempatan tersebut, Peneliti MK Fajar Laksono menyampaikan materi sambil berdiskusi seputar MK dan konstitusi dengan para mahasiswa yang tengah menempuh semester kedelapan di FH UMM. Para mahasiswa tersebut pun antusias melayangkan berbagai pertanyaan terkait isu terkini hingga diskusi berlangsung menarik.
Memulai paparannya, Fajar menyatakan MK saat ini sudah berusia dua belas tahun. Selama dua belas tahun, kehadiran MK di tatanan ketatanegaraan Indonesia sudah sesuai dengan harapan ketika MK dibentuk. Indikator tercapainya harapan tersebut salah satunya bisa dilihat dari berbagai putusan MK yang tidak melulu pada persoalan ketatanegaraan, melainkan pada berbagai persoalan faktual di berbagai bidang. MK juga berkiprah dalam peningkatan kualitas tatanan hidup berkonstitusi.
Baru-baru ini saja misalnya, MK lewat putusannya menyatakan membatalkan keberlakuan seluruh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) dengan alasan tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. “Putusan MK tidak dimonopoli masalah tatanegara dan putusan-putusan MK bisa menjadi tema skripsi kawan-kawan mahasiswa,” pancing Fajar saat memulai paparannya.
Selanjutnya, Fajar menjelaskan awal terbentuknya ide mengenai Constitusional Court atau yang dikenal dengan MK di Indonesia. Ide terbentuknya MK dimulai dari kebutuhan untuk menguji produk legislasi. Undang-undang sebagai produk legislasi dinilai perlu untuk dapat diuji karena undang-undang lahir dari proses politik di parlemen. Ide mengenai pengujian undang-undang atau judicial review tersebut pertama kali muncul di Amerika Serikat saat Sekretaris Negara Jhon Marshall memperkenalkan mekanisme judicial review untuk menyelesaikan sengketa antara Marbury dengan Madison pada tahun 1803. “Sedangkan ide kelembagaan Constitutional Court muncul di Austria lewat ide Hans Kelsen pada tahun 1919,” jelas Fajar.
Di Indonesia, lanjut Fajar, gagasan dibentuknya MK sebenarnya sudah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia. Pada saat sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945, Mohammad Yamin sudah mencetuskan ide perlunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review bernama Balai Agung. Namun, ide Yamin saat itu dimentahkan oleh Soepomo dengan alasan Indonesia yang baru merdeka belum memiliki banyak ahli hukum untuk dapat melakukan proses tersebut. Namun, ide pembentukan Balai Agung tersebut terus bergulir hingga akhirnya pada 13 Agustus 2003 MK secara resmi lahir dalam tatanan ketatanegaraan Indonesia.
Permasalahan Implementasi
Meski kewenangan MK sudah diatur langsung oleh Konstitusi, namun tetap saja ditemukan berbagai permasalahan, termasuk permasalah implementasi yang berujung pada pelemahan eksistensi MK. Putusan MK yang bersifat final dan mengikat tentu saja mengandung pro kontra, terlebih MK tidak bisa melakukan intervensi agar implementasi putusan MK di lakukan.
Di Jerman contohnya pernah terjadi putusan Constitutional Court yang justru didemonstrasi oleh sebagian besar masyarakatnya. Saat itu MK Jerman memutus kewajiban seluruh masyarakat memasang Salib bertentangan dengan Konstitusi Jerman.
Demonstrasi merupakan salah satu bentuk penolakan atau ketidaksetujuan dengan putusan MK. Upaya lainnya agar putusan MK tidak dapat diimplementasikan bisa dengan berbagai cara antara lain mengupayakan amandemen UUD 1945 terkait kewenagan MK. “Permasalahan implementasi ini di berbagai negara sudah diterapkan punishment bagi lembaga negara yang tidak mengimplementasikan putusan MK. Namun di Indonesia belum bisa dilakukan. Itulah permasalahan implementasi putusan MK,” ungkap Fajar.
Pengawasan
Pada kesempatan tersebut, salah seorang mahasiswa bernama Wawan menanyakan pengawasan terhadap MK sebagai penerapan prinsip check and balances. Wawan bertanya mengapa MK tidak mau diawasi oleh KY seperti lembaga peradilan lainnya.
Menjawab pertanyaan tersebut, Fajar menjelaskan bahwa lewat komposisi Hakim Konstitusi yang berasal dari unsur pemerintah, MA, dan DPR merupakan salah satu perwujudan prinsip check and balances. Lewat pembatasan kewenangan yang dimiliki MK juga sebenarnya telah terwujud prinsip keseimbangan karena MK berwenang menguji undang-undang namun tidak berwenang turut menyusun undang-undang.
Sementara itu, Fajar mengatakan MK sebenarnya langsung diawasi oleh publik. Namun, sebenarnya yang diperlukan oleh MK selaku lembaga peradilan bukanlah pengawasan melainkan penjagaan terhadap martabat Hakim Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. “Kalau pengawasan paradigmanya kan menemui kesalahan. Seharusnya MK dijaga martabarnya melalui Dewan Etik dengan paradigma menjaga agar Hakim Konstitusi tetap menjunjung Sapta Karsa Hutama. Soal yang abu-abu seperti menghadiri acara atas undangan pejabat yang perkaranya baru diputus oleh MK misalnya, bisa ditanyakan terlebih dulu ke Dewan Etik bagaimana sebaiknya agar tidak melanggar kode etik,” urai Fajar sembari menegaskan bahwa alasan pelanggaran kode etik sematalah yang dapat digunakan untuk memakzulkan (impeachment) Hakim Konstitusi. (Yusti Nurul Agustin)