Norma mengenai kesehatan reproduksi dalam Undang-Undang sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan No. 28/PUU-XIII/2015 ini digelar Kamis (5/3) di Ruang Sidang Pleno MK. Pemohon perkara ini yaitu Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang salah satu prinsipal Pemohon adalah Ketua Pengurus Nasional PKBI, Sarsanto W. Sarwono. Selain PKBI, lima Pemohon lainnya yaitu guru dan orang tua siswa yang meminta materi kesehatan reproduksi dimasukkan dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah lewat UU Sisdiknas sebagai paying hukumnya.
Kuasa Hukum Pemohon, Rahmawati Putri menyampaikan pokok-pokok permohonan di hadapan panel hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK, Anwar Usman. Rahmawati menyampaikan pihaknya secara khusus mengajukan pengujian terhadap Pasal 37 ayat (1) huruf h UU Sisdiknas yang dianggap bertentangan dengan Konstitusi. Pasal a quo berbunyi sebagai berikut.
Pasal 37
(1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
h. pendidikan jasmani dan olahraga
Pemohon langsung meminta kepada Mahkamah untuk menafsirkan pasal a quo sebagai pasal yang mewajibkan kurikulum pendidikan dasar dan menengah memasukkan kesehatan reproduksi sebagai salah satu jenis pendidikan jasmani dan kesehatan. Artinya, frasa “pendidikan jasmani dan olahraga” dalam pasal a quo diminta oleh Pemohon untuk juga dimaknai atau merujuk kepada kesehatan reproduksi.
Bila pasal a quo tidak diartikan sebagaimana yang Pemohon inginkan, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F, Pasal 28G ayat (1), Pasal 31 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sebab, Pasal 37 ayat (1) huruf h dianggap mengesampingkan hak anak untuk tumbuh dan berkembang serta berhak mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Salah satu kekerasan yang ingin dihindari oleh Pemohon dengan memasukkan materi seputar kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah yaitu kekerasan seksual. Bentuk kekerasan seksual yang menurut Pemohon dapat merampas hak kkonstitusional anak-anak antara lain pencabulan hingga pernikahan dini. Dengan memahami materi seputar kesehatan reproduksi, Pemohon berharap anak-anak dapat melindungi dirinya sendiri dari kekerasan seksual, kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi yang tidak aman, hinggan penyakit menular seksual.
Untuk menguatkan argumennya, Pemohon menyampaikan beberapa kondisi faktual yang terjadi saat kegiatan belajar mengajar dilaksanakan di sekolah-sekolah. Rata-rata, informasi yang sampai kepada siswa tidak utuh, terpisah-pisah, dan sangat tergantung pada inisiatif guru dan pejabat di masing-masing sekolang. Menurut Pemohon, adanya paying hukum yang mewajibkan pemberian materi seputar kesehatan reproduksi dapat menjadi salah satu pemecahan masalah. “Hal ini (informasi yang tidak utuh soal materi kesehatan reproduksi, red) disebabkan belum adanya payung hukum untuk mewajibkan pendidikan kesehatan reproduksi disampaikan kepada anak karena tidak masuk ke dalam kurikulum nasional,” ujar Rahmawati.
Menanggapi uraian pokok permohonan Pemohon yang telah disampaikan oleh Rahmawati, panel hakim memberikan saran yang dapat dipakai untuk melakukan perbaikan permohonan. Wakil Ketua MK, Anwar Usman meminta Pemohon memperjelas kerugian konstitusional yang sudah terjadi maupun yang berpotensi terjadi dengan berlakunya pasal a quo.
“Ini yang musti dielaborasi secara komprehensif sehingga nanti kelihatan bahwa memang dengan tidak adanya frasa ‘pendidikan kesehatan dan reproduksi’ itu Pemohon mengalami kerugian konstitusional. Pemohonnya ada tujuh, tentu harus diuraikan masing-masing kerugian yang dialami,” pinta Anwar.
Sementara itu Hakim Konstitusi Suhartoyo salah satu anggota panel hakim meminta Pemohon untuk memberikan argumentasi pentingnya materi kesehatan reproduksi dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Sebab, sejatinya UU Kesehatan sudah menyatakan hak kesehatan reproduksi merupakan hak setiap orang, termasuk hak para pelajar di bangku pendidikan dasar dan menengah. Sehingga, menjadi kewajiban Pemohon untuk memberikan argumentasi yang jelas mengenai pentingnya materi kesehatan reproduksi tersebut dimasukkan ke dalam kurikulum.
“Ini berikan koridor supaya materi kesehatan reproduksi ini bisa dibawa ke wilayah sekolahan, wilayah kurikulum. Daripada nanti menjadi tumpang tindih karena nanti ada dua undang-undang yang memberi kewajiban sama untuk mengajarkan tentang kesehatan reproduksi. Sedangkan di Undang-Undang Kesehatan sudah nyata-nyata bahwa hak untuk mendapatkan kesehatan reproduksi adalah hak setiap orang,” imbuh Suhartoyo. (Yusti Nurul Agustin)