Sidang pengujian UU No. 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) dan UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) - Perkara No. 4/PUU-XIII/2015 - digelar Mahkamah Konsitusi (MK) pada Kamis (5/3) siang. Hadir pada persidangan, Ahli Pemohon yaitu Dr. Ridwan, SH, M.Hum selaku dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta
Ridwan mengkritisi bahwa pajak dan pungutan untuk keperluan negara merupakan beban bagi warga negara. Oleh karena itu rumusan Pasal 23A UUD 1945 yang menyebutkan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara” sudah tepat yakni diatur dengan undang-undang. “Di Inggris ada ungkapan no taxation without representation, tidak ada pajak tanpa undang-undang. Di Amerika dikenal ungkapan taxation without representation is robbery, pajak tanpa undang-undang adalah perampokan,” jelas Ridwan.
“Di sisi lain, pajak dan pungutan untuk keperluan negara pada hakikatnya merupakan pemindahan hak milik pribadi kepada negara atau peralihan kekayaan dari sektor swasta ke publik,” ujar Ridwan kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Lebih lanjut Ridwan menerangkan bahwa PNPB dan iuran tidak boleh diatur dengan Peraturan Presiden (PP), karena PP bukan merupakan instrumen hukum mandiri. Hal ini berbeda dengan Peraturan Presiden (Perpres) yang dapat dikeluarkan Presiden, baik atas perintah undang-undang maupun tanpa perintah undang-undang, yakni atas dasar kewenangan diskresi yang melekat pada Presiden. “Hal ini berarti bahwa Presiden tidak dapat mengeluarkan PP tanpa perintah undang-undang,” ucap Ridwan.
Ridwan juga menanggapi soal Pasal 48 ayat (2) UU No. 22/2001 tentang Migas. Meskipun pasal tersebut menyebutkan pengaturan dengan peraturan perundang-undangan dan PP atau peraturan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) tergolong peraturan perundang-undangan, namun ketika sudah menyangkut pembebanan terhadap warga negara dan peralihan hak milik dari sektor swasta ke publik, pengaturannya harus dengan undang-undang. “Ketentuan Pasal 48 ayat (2) UU Migas dapat menimbulkan konsekuensi yuridis berupa ketidakpastian hukum,” tegas Ridwan di hadapan hakim konstitusi.
Ahli Pemohon lainnya, Dr. Drs Luqman H. Zainuri M.Sc., dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang, menjelaskan secara ilmu pemerintahan dapat dikatakan bahwa pajak adalah iuran wajib dari masyarakat untuk kepentingan negara guna membiayai keperluan pemerintahan. Atas iuran ini, masyarakat tidak memperoleh manfaat langsung, namun manfaatnya adalah tidak langsung yaitu tersedianya pelayanan dan fasilitas umum oleh pemerintah. Seperti tersedianya infrastruktur listrik, air minum, jalan raya, keamanan dan ketenteraman hidup bermasyarakat.
“Hal ini berarti, dalam negara yang demokratis, rakyat sebagai pembayar pajak mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi daripada pejabat publik atau pejabat negara,” ucap Luqman.
Seperti diketahui, PT. Gresik Migas yang menjadi Pemohon perkara ini menilai UU PNBP bertentangan Pasal 23A dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Akibat ketentuan dalam UU a quo, Pemerintah menerbitkan PP yang mewajibkan Pemohon membayar sejumlah iuran setiap bulannya kepada BPH Migas.
Sementara terhadap Pasal 48 ayat (2) UU Migas pada frasa “sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” dan Pasal 49 pada frasa “dan Pasal 48”, Pemohon berpendapat, hal tersebut bersifat multi interpretatif, melanggar asas lex certa/asas kejelasan rumus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. (Nano Tresna Arfana)