Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana perkara permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan pada Rabu (4/3), di Ruang Sidang Panel Lantai 4 Gedung MK. Perkara yang teregistrasi dengan nomor 27/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh Rochmadi Sularsono yang merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemerintah Kabupaten Ponorogo. Tanpa diwakili kuasa hukum, Rochmadi dalam permohonannya menyatakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan diberlakukannya beberapa pasal dalam UU a quo.
“Pemohon dirugikan hak konstitusionalitasnya berkaitan dengan penerbitan Pasal 139, 136, kemudian Pasal 66 ayat (2), itu berkaitan dengan kata “akan” dan pegawai negeri sipil, tanpa pencantuman Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja, kemudian Pasal 2 huruf a yang terdiri dari banyak pasal,” papar Rochmadi dihadapan majelis hakim sidang panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Aswanto. Secara keseluruhan, Pemohon dalam petitum permohonannya meminta kepada majelis hakim menyatakan agar Pasal 6 huruf a, Pasal 2 huruf a, Pasal 61, Pasal 66 ayat (2), Pasal 136, Pasal 137 dan Pasal 139 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan norma dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Setelah mendengar pemaparan Pemohon, Hakim Konstitusi Maria Farida Indarti memberikan nasihat kepada Pemohon terkait dengan teknis penulisan permohonan yang menimbulkan ketidakjelasan maksud permohonan. “Pasal 2 J non diskriminasi, ini maksudnya apa Pak? Kalau yang tadi dikatakan pada huruf a Pasal 2 dalam kurung kepastian hukum, mestinya Pasal 2 huruf a mungkin ya,” papar Maria Farida.
Lebih lanjut, Maria Farida menyoroti petitum yang dimohonkan oleh Pemohon. Menurut Maria Farida, petitum harus menyatakan suatu pasal bertentangan dengan UUD 1945 dan kemudian menyatakan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Jadi ini, menyatakan Pasal 137 UU ASN bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, kemudian selanjutnya, Pasal 137 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tutur Maria Farida saat memberikan contoh petitum kepada Pemohon.
Kemudian menurut Maria Farida, ketika permohonan yang diajukan oleh Pemohon tidak memenuhi syarat dan tidak mampu meyakinkan hakim kalau di dalamnya terdapat permasalahan, maka permohonan tersebut akan menjadi percuma.
Persoalan penulisan petitum juga mendapatkan sorotan dari Hakim Konstitusi Anwar Usman. Menurut Anwar, petitum cukup menyatakan bertentangan dengan UUD 1945, tanpa menyebutkan pasal-pasal dalam UUD 1945. Sementara itu, Hakim Konstitusi Aswanto sempat mengklarifikasi isi permohonan Pemohon. Menurut Aswanto, adanya permohonan yang cukup panjang menyebabkan kesan yang membingungkan dan tanpa arah, sehingga tidak jelas apa yang diminta dalam permohonan. Untuk itu, Aswanto menyarankan kepada Pemohon untuk membaca proses beracara di MK dalam Undang-Undang MK dan Peraturan MK. Selain itu, Aswanto juga mengklarifikasi kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon karena tidak tergambar secara jelas dalam permohonan. “Nah yang Saudara persoalkan ini kan kerugian honorer, sementara Bapak pegawai negeri itu lho, dimana kerugian saudara,” kata Aswanto. Untuk itu, Aswanto menyarankan agar Pemohon menguraikan dengan jelas tentang kerugian konstitusional yang dialami. (Triya IR)