Pemerintah berpendapat Heru Purwanto, Guru Sekolah Menengah Farmasi Ditkes AD, tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk menguji materi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
Pendapat tersebut disampaikan Kemenkes melalui Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Medikolegal Tri Tarayati dalam sidang lanjutan uji materi UU Tenaga Kesehatan yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat. Menurut Pemerintah, tidak ada kerugian pada diri Pemohon dan Pemohon juga tidak dalam rangka dihalang-halangi hak konstitusionalnya.
“Pemerintah berpendapat Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum dan tepat jika Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ujarnya pada sidang perkara nomor 16/PUU-XIII/2015 di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Rabu (4/3).
Terkait pokok permohonan Pemohon yang menganggap Pasal 88 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan merugikan tenaga menengah farmasi karena akan kehilangan kewenangan sebagai tenaga kesehatan, Pemerintah berpendapat norma yang diatur dalam pasal tersebut telah diberlakukan sebelum UU disahkan. Ketentuan itu diberlakukan sebagai kebijakan pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada tenaga kesehatan dan masyarakat penerima upaya kesehatan.
Pasal 88 ayat (1) menyatakan,
“Tenaga kesehatan lulusan pendidikan di bawah diploma 3 yang telah melakukan praktik sebelum ditetapkannya undang-undang ini tetap diberikan kewenangan untuk menjalankan praktik sebagai tenaga kesehatan untuk jangka waktu 6 tahun setelah undang-undang ini diundangkan.”
“Terhadap anggapan Pemohon yang merasa dirugikan dengan adanya ketentuan ini, menurut Pemerintah Pemohon berasumsi dan tidak berdasar sama sekali dalam menguraikan kerugiannya karena ketentuan ini mengatur penyesuaian bagi tenaga kesehatan yang telah menjalankan praktik sebelum undang-undang ini ada sebagai kebijakan pemerintah. Sehingga undang-undang ini sudah sejalan dengan amanat dalam Pembukaan Alinea Keempat Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” jelasnya.
Sementara untuk dalil Pemohon yang menyatakan apabila Pasal 96 UU Tenaga Kesehatan tetap diberlakukan, akan merugikan banyak siswa SMK farmasi seluruh Indonesia karena harapan mereka sebagai tenaga kesehatan telah digagalkan. Sehingga lebih bijaksana dan adil apabila bunyi Pasal 96 menjadi undang-undang ini diberlakukan tiga tahun sejak tanggal diundangkan. Terhadap dalil tersebut, Pemerintah berpendapat ketentuan Pasal 96 UU a quo dimaksudkan sebagai cara atau teknis dalam menyusun perundang-undangan, khususnya dalam menentukan saat mulai diberlakukannya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam lampiran 137 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan.
“Oleh karena itu, menurut Pemerintah dalil Pemohon tidak relevan dan berdasar sama sekali. Justru dengan diberlakukan UU Tenaga Kesehatan member kepastian hukum terhadap keberlakuan undang-undang ini dan tidak terkait dengan hak konstitusional Para Pemohon yang merasa dirugikan,” tegasnya.
Pada sidang perdana, Pemohon memohon kepada MK untuk membatalkan Pasal 88 ayat (1) dan Pasal 96 UU Tenaga Kesehatan karena merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai guru sekolah farmasi. Menurut Pemohon, tujuan diundangkannya UU Tenaga Kesehatan adalah untuk peningkatan mutu pelayanan. Namun demikian, pemohon berharap hal tersebut hendaknya tidak merugikan tenaga pelayan kesehatan yang sudah bekerja dan memiliki pengalaman yang cukup. “Pengalaman adalah guru yang terbaik. Jadi sebaiknya pengalaman mereka sebagai tenaga kesehatan tidak dihapus hanya karena mereka tidak berpendidikan Diploma III.” Tegas Heru. (Lulu Hanifah)