Pemohon perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) Kepolisian Negara Republik Indonesia, Windu Wijaya perbaiki permohonan. Hazmin A. Sutan Muda selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan dalam perkara No. 24/PUU-XIII/2015 pada Rabu (25/2) di Ruang Sidang Pleno MK. Pada kesempatan yang sama, Hakim Konstitusi Anwar Usman selaku ketua panel hakim mengesahkan sebelas bukti yang diajukan Direktur Pusat Advokasi dan Pengawasan Penegakan Hukum (PAPPH) tersebut.
Hazmin menyampaikan bahwa Pemohon telah memperbaiki permohonan sesuai saran panel hakim pada sidang pendahuluan yang digelar 12 Februari 2015 lalu. Salah satu perbaikan yang dilakukan yaitu perbaikan pada legal standing Pemohon. Seperti yang disampaikan Hazmin, Pemohon menggunakan legal standing sebagai perorangan warga negara Indonesia yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya akibat ketentuan mengenai pemberhentian Kepala Polri (Kapolri) dan pengangkatan pelaksana tugas (plt) Kapolri oleh presiden dalam keadaan mendesak.
Selain itu, Pemohon juga menambahkan norma yang diajukan untuk diuji. Bila sebelumnya Pemohon hanya menguji konstitusionalitas Pasal 11 ayat (5) UU Polri, pada perbaikan permohonan ini Pemohon menambahkan Pasal 11 ayat (1) UU Polri untuk diuji. Penambahan pasal tersebut karena juga dianggap menimbulkan multitafsir. Oleh karena itu, Pemohon lewat kuasa hukumnya juga meminta Mahkamah untuk memberikan penafsiran terhadap dua norma tersebut.
“Kami juga melakukan perbaikan pada petitum permohonan berupa permintaan penafsiran oleh Mahkamah terhadap Pasal 11 ayat (1) dan ayat (5) UU Kepolisian Negara Republik Indonesia,” ujar Hazmin yang juga menyatakan Pemohon berhak atas jaminan dan perlindungan serta kepastian hukum yang sama di hadapan hukum sesuai Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Sebelum menutup sidang, Anwar Usman menyampaikan akan menyerahkan hasil sidang kali ini kepada Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Mengenai kelanjutan perkara ini, Anwar mengatakan Pemohon perlu menunggu kepeutusan RPH. Tidak lupa, Anwar mengesahkan sebelas bukti yang diajukan Pemohon.
“Bukti P1 sampai P11 saya nyatakan sah,” tutup Anwar.
Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan Pemohon menyatakan norma mengenai pemberhentian Kapolri dan pengangkatan plt Kapolri oleh presiden dalam keadaan mendesak dikhawatirkan akan dapat melanggar hukum ketika pasal tersebut diartikan bahwa Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara yang memiliki kewenangan untuk mengangkat pelaksana tugas Kapolri tanpa menyertai alasan-alasan dalam keadaan mendesak dan tanpa meminta persetujuan DPR. Sehingga, presiden seolah-olah telah bertindak sesuai dengan hukum ketika mengangkat Kapolri.
Ketentuan tersebut digugat setelah Pemohon merasa pengangkatan Wakapolri Komjen Polisi Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas dengan mendasarkan kepada Pasal 11 ayat (5) UU Polri tidak memenuhi syarat. Sebab, pengangkatan Badrodin dianggap oleh Pemohon tidak dalam keadaan mendesak dan tidak Kapolri sebelumnya tidak diberhentikan sementara.
“Pasal tersebut telah membuka peluang bagi presiden untuk mengangkat pelaksana tugas Kapolri tanpa persetujuan DPR dengan alasan bahwa pengangkatan pelaksana tugas Kapolri tersebut dilakukan secara hormat dengan tetap. Norma Pasal 11 ayat (5) Undang-Undang tentang Kepolisian Republik Indonsia merupakan norma yang telah menimbulkan multitafsir dan berpotensi menimbulkan tafsiran inkonstitusional. Oleh karenanya maka Pasal 11 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan asas negara hukum dan merugikan hak-hak konstitusional Pemohon sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” ujar Hazmin pada sidang pendahuluan yang digelar di ruangan yang sama. (Yusti Nurul Agustin)