Sidang pengujian UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) - Perkara No. 8 dan 9/PUU-XIII/2015 - digelar Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mengagendakan penyampaian keterangan pihak Pemerintah dan DPR. Pada kesempatan itu, pihak Pemerintah diwakili oleh Wicipto Setiadi selaku Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham.
Pemerintah menanggapi pengujian Pasal 124 ayat (2) UU ASN yang menyebutkan bahwa sebagai PNS yang ingin mencalonkan diri sebagai bupati atau pejabat negara harus mengundurkan diri secara permanen. Menurut Pemerintah, sebelum diterbitkannya UU ASN yang baru, pengaturan mengenai kepegawaian diatur dalam UU No. 44/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
“Dalam UU Kepegawaian, norma larangan bagi pegawai sudah diatur dalam ketentuan Pasal 6. Sehingga terhadap anggapan Pemohon yang mendalilkan ketentuan a quo merugikan Pemohon karena diberlakukan surut terhadapnya, menurut Pemerintah keliru dan berlebihan,” ujar Wicipto kepada Ketua MK Arief Hidayat selaku pimpinan sidang.
Dikatakan Wicipto, adanya UU ASN sebagai pengganti UU Kepegawaian justru lebih mempertegas norma larangan tersebut. Terhadap norma larangan bagi pegawai tersebut, Pemerintah berpendapat, hal ini diatur guna menjaga netralitas pegawai ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN.
“Selain itu dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan bagi pegawai ASN dalam melaksanakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,” tambah Wicipto.
Terhadap Pemohon yang harus mengundurkan diri ketika ingin mencalonkan diri menjadi pejabat negara, menurut Pemerintah, perlu diketahui bahwa jabatan negara seperti adalah jabatan politis. Sama halnya jabatan untuk menjadi anggota partai politik yang dipilih oleh masyarakat yang mendukung partainya.
“Oleh karena itu, bagi pegawai ASN harus menjaga kenetralitasannya dari pengaruh politik sehingga pegawai ASN harus mengundurkan diri sebelum mengajukan sebagai calon bupati,” tegas Wicipto.
Sementara itu DPR yang diwakili oleh Arsul Sani selaku anggota Komisi III DPR mengatakan bahwa ketentuan mengenai pejabat negara yang dipilih langsung dengan yg tidak dipilih langsung bukan merupakan diskriminasi. “Pegawai ASN diharapkan bebas dari kepentingan dan intervensi politik. Itu semua demi tercapainya aparat negara yg profesional, bebas dari intervensi politik, bebas dari kkn serta memiliki kinerja, kapasitas dan integritas yg tinggi,” kata Arsul.
Arsul menerangkan, Pasal 8 UU ASN menyebutkan bahwa pegawai ASN berkedudukan sebagai unsur aparatur negara. Sedangkan Pasal 9 ayat (2) UU ASN menyebutkan bahwa pegawai ASN harus bebas dari intervensi dan pengaruh parpol.
“Ketentuan itu jelas bahwa pegawai ASN tidak boleh ikut kegiatan politik praktis dan dilarang berpihak dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan,” tandas Arsul kepada Majelis Hakim.
Dalam sidang awal, para pemohon perkara 8/PUU-XII/2015 memaparkan bahwa kewajiban pengunduran diri PNS yang maju dalam bursa pencalonan kepala daerah atau pun anggota legislatif harus ditafsirkan sebagai pengunduran diri sementara. Pemohon mengatakan bahwa dalam Pasal 119, frasa mengundurkan diri tersebut dianggap tidak menjamin kepastian hukum karena normanya bertentangan dengan norma dalam satu undang-undang. Pemohon mengungkapkan alasannya, dalam Undang-Undang tersebut juga dinyatakan bahwa bagi PNS yang menjadi Hakim Konstitusi, komisioner Komisi Yudisial, anggota Badan Pemeriksa Keuangan, dan lembaga-lembaga lainnya hanya diwajibkan mengajukan pengunduran diri sementara, dan apabila masa jabatannya telah berakhir dapat kembali menjadi PNS. Menurut pemohon adanya ketentuan yang berbeda tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum, oleh karena itu pemohon meminta kepada Mahkamah agar PNS yang mencalonkan diri menjadi pejabat negara hanya diwajibkan mundur sementara.
Lain halnya dengan perkara 9/PUU-XIII/2015, dalam permohonannya para Pemohon menjelaskan bahwa dengan berlakunya pasal yang diujikan, mereka merasa tidak memperoleh kepastian hukum yang adil akan haknya untuk dapat bekerja sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang tidak memakai sistem kontrak dan hak untuk dapat ditetapkan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) secara otomatis. Pada saat ini pada instansi pemerintah sudah terdapat pegawai tidak tetap pemerintah/pegawai Non-PNS yang sudah bekerja dengan status pegawai Non-PNS. Menurut Pemohon, pegawai tersebut harus secara otomatis dapat ditetapkan sebagai pegawai ASN dengan status sebagai PPPK. Jika tidak ditetapkan secara otomatis sebagai PPPK maka akan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja massal. Pegawai tersebut juga akan kehilangan haknya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai ASN/PPPK. Padahal, pegawai pemerintah yang berstatus sebagai PNS secara otomatis ditetapkan sebagai pegawai ASN. Pemohon berpendapat, hal tersebut merupakan perlakuan yang diskriminatif.
Norma-norma tersebut menyatakan bahwa masa kerja PPPK itu hanya untuk jangka waktu tertentu, masa perjanjian kerja paling singkat 1 (satu) tahun dan pegawai PPPK dapat diberhentikan dari pekerjaannya sebagai PPPK, jika jangka waktu perjanjian kerja berakhir. Hal tersebut menurut para Pemohon tidak dapat menjamin adanya kepastian hukum yang adil sebab sewaktu-waktu para Pemohon dapat kehilangan pekerjaan. Selain itu, ketentuan tersebut juga dianggap diskriminatif sebab pegawai ASN yang sudah berstatus sebagai PNS tidak dibatasi oleh jangka waktu dan tidak diberhentikan sewaktu-waktu karena tidak terikat oleh jangka waktu tertentu, sedangkan yang berstatus sebagai PPPK dapat diberhentikan sewaktu-waktu, apabila jangka waktunya berakhir.(Nano Tresna Arfana/fitri)