Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), yang mengatur pemberhentian sementara komisioner KPK dari jabatannya jika menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi oleh sekelompok warga yag menamakan diri Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK).
Dalam sidang pendahuluan, Kamis (26/02), yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, para pemohon dalam perkara 25/PUU-XIII/2015 menyampaikan argumentasinya bahwa Pasal 32 ayat (2) UU KPK yang berbunyi “Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.” telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Pemohon beranggapan norma tersebut bertentangan dengan definisi tersangka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Menurut pemohon, adanya Pasal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD 1945). Pemohon juga membandingkan aturan terhadap penegak hukum KPK dibandingkan dengan penegak hukum lain, khususnya Kepolisian. Menurut pemohon hal itu terlihat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (UU Kepolisian) dan UU Kejaksaan, dimana tidak ada yang mengatur tentang pemberhentian apabila pimpinan Polri menjadi tersangka.
Selai itu pemohon juga berargumen bahwa dengan adanya Pasal 32 ayat (2) UU KPK mengakibatkan Pimpinan KPK dengan mudah diberhentikan sementara oleh Presiden dengan adanya penetapan tersangka saja oleh Polri. “Dengan adanya ketentuan tersebut maka komisioner KPK dapat dengan mudah diberhentikan hanya keran jadi tersangka akibat kasus-kasus kacangan,” ujar Viktor, mewakili FKHK. Menurutnya hal itu justru akan menghambat kerja KPK dalam memberantas korupsi. Dengan dalil-dalil tersebut, Pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan bahwa Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945.
Terhadap permohonan tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, yang memimpin sidang tersebut memberikan nasihat kepada pemohon, untuk memperhatikan legal standing pemohon karena hal itu menjadi pintu masuk masuk bagi pemohon apakah perkara terebut dapat berlanjut atau tidak. Selain itu, Palguna mengatakan, pemohon juga harus mampu menjelaskan kualifikasi dan kerugian konstitusional pemohon akibat berlakunya ketentuan tersebut. Palguna meminta kepada pemohon untuk tidak sembarangan menguraikan kedudukan hukum dalam perkara ini. Selanjutnya, mantan Anggota Panitia Ad Hoc I Majelis Permusyaratan Rakyat itu juga meminta kepada para pemohon untuk fokus kepada Undang-Undang yang diuji. Menurut Palguna apa yang disampaikan oleh pemohon merupakan provokasi supaya hakim konstitusi meyakini apa yang disampaikan oleh pemohon, oleh karena itu permohonan itu harus baik. “Di sinilah kesempatan anda untuk membangun teori,” ujar Palguna.
Hal senada juga disampaikan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo. Menurut hakim konstitusi yang pernah berkarir sebagai hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Denpasar itu pemohon harus mampu memahami alasan Polri dan Jaksa yang meskipun terikat dengan UU Kepegawaian, namun tidak diatur sama dengan komisioner KPK. Suhartoyo juga mengingatkan kepada para pemohon mengenai fungsi KPK yang luar biasa, sehingga jika ada toleransi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh komisioner KPK, hal tersebut akan menjadi kontra produktif.
Sementara Hakim Konstitusi Aswanto memberikan nasihat kepada pemohon untuk membedakan definisi tersangka dan terdakwa. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin itu menyatakan menangkap maksud dari pemohon, bahwa dengan adanya pasal tersebut berpotensi untuk mengganggu kerja KPK, sehingga dengan mudah komisioner KPK dijadikan tersangka dan diberhentikan oleh presiden. Meski demikian, Aswanto meminta kepada para pemohon untuk mampu menguraikan argumen tersebut dengan jelas, terutama terkait dengan kedudukan hukum pemohon, sehingga majelis hakim yakin dengan permohonan tersebut.
Dengan nasihat-nasihat tersebut, pemohon diberi waktu paling lambat 14 hari untuk melakukan dan menyerahkan perbaikan permohonan. (Ilham)