Adanya ketidakpastian politik (political uncertainty) menjadi sebab utama negara-negara modern menghadirkan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sistem ketetanegaraannya. Hal ini berarti, MK hadir rangka menjaga kepastian politik (political certainty) dan Indonesia merupakan negara ke-78 yang mendirikan MK.
“Agar ada political certainty (kepastian politik) maka Mahkamah Konstitusi di negara-negara modern,” papar Peneliti MK, Abdul Ghoffar dengan mengutip pendapat Tom Ginsburg, saat menjawab pertanyaan salah satu siswa dalam kegiatan kunjungan SMA Plus PGRI Cibinong, di Aula Lantai Dasar Gedung MK, pada Rabu (25/2) siang.
Sebelumnya, pada saat memberikan kuliah singkat, Ghoffar memaparkan materi tentang sistem ketatanegaraan dan sejarah pembentukan MK di Indonesia. Menurut Ghoffar, setelah reformasi terjadi perubahan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Mahkamah Agung (MA), MK, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah setingkat. Untuk itu, sudah tidak terdapat lagi lembaga tinggi negara, yang ada adalah lembaga negara. “Sudah tidak ada lagi yang namanya lembaga tinggi negara, yang ada itu hanya lembaga negara. Ada tujuh lembaga negara yang itu dianggap selevel dilihat dari keutamaan lembaga negara itu,” jelas Ghoffar.
Lebih lanjut, Ghoffar menyatakan bahwa MK merupakan perwujudan dari nomokrasi, yang berfungsi untuk mengarahkan demokrasi agar tidak melanggar nilai-nilai yang universal. Hal ini yang kemudian melandasi adanya kewenangan MK untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang. “Pemerintahan demokrasi, pemerintahan berdasarkan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat itu harus diberhadapkan kepada nomokrasi, pemerintahan berdasarkan pada norma. Nomorkasi ini, kejawantah dari itu adalah Mahkamah Konstitusi. Inilah kenapa kemudian Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk menguji undang-undang,” kata Ghoffar.
MK Menjaga KPK
Tania, salah satu siswa SMA Plus PGRI Cibinong, dalam sesi tanya jawab menanyakan tentang pengesahan keberadaan KPK, dan apa yang dilakukan MK dengan adanya masalah yang terjadi di KPK. Menanggapi pertanyaan itu, Ghoffar menyatakan bahwa MK tidak mempunyai kewenangan untuk menyatakan sah atau tidaknya kelahiran sebuah lembaga negara. Namun, menurut Ghoffar, dalam perjalanannya MK-lah yang kemudian menjaga KPK. “Tetapi dalam perjalanannya, yang menjaga KPK itu siapa? Kalau pertanyaannya seperti itu, bisa Saya jawab yang menjaga itu adalah Mahkamah Konstitusi,” papar Ghoffar.
Menurut Ghoffar, hal ini juga dapat diketahui dari proses pengujian Undang-Undang KPK, di mana MK sudah mengujinya sebanyak enam belas kali. Kalau MK ingin membubarkan KPK, maka dapat dilakukan lewat pengujian undang-undang. “Kalau misalnya Mahkamah Konstitusi ingin membubarkan KPK, maka cukup Undang-Undang KPK dinyatakan tidak berlaku, lembaga itu pasti sudah akan runtuh,” kata Ghoffar. (Triya IR).