Pengurangan masa pidana atau yang biasa disebut remisi, ternyata menyimpan permasalahan tersendiri. Hal tersebut menjadi alasan bagi Bahrul Ilmi Yakup, S.H. untuk mengajukan judicial review atas UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan). Bahrul Ilmi Yakup berpendapat pemberian remisi adalah kewenangan lembaga yudikatif, hal ini menurutnya didasarkan pada UUD 1945 Pasal 24 ayat (1) juncto Pasal 14.
UUD 1945 Pasal 24 ayat (1) menyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan peradilan. Sementara dalam Pasal 14 ayat (1) disebutkan Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan mempertimbangkan Mahkamah Agung. Ayat (2) dari pasal yang sama menyatakan Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dengan demikian, menurut Pemohon, keberadaan Pasal 14 ayat (1) butir i dan Pasal 14 ayat (2) UU Pemasyarakatan adalah tidak tepat karena memberikan wewenang pemberian remisi kepada pihak eksekutif (pemerintah). Pemohon mendalilkan hal ini sebagai wewenang yang tidak memiliki landasan dalam UUD 1945. Karenanya bertentangan dengan UUD 1945 dan harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menanggapi dalil pemohon, Menteri Hukum dan HAM (Menhukham) Hamid Awaluddin didampingi Dirjen Pemasyarakatan Drs. Mardjaman, BC., IP., menerangkan perubahan filosofis pidana penjara. Dahulu, sistem pemenjaraan merupakan perwujudan motif negara dalam melakukan penjeraan dan balas dendam terhadap pelaku kejahatan. Saat ini, landasan filosofis tersebut bergeser, bukan lagi sebagai penjera dan media balas dendam, melainkan sebagai media rehabilitasi untuk kembali mengintegrasikan narapidana ke dalam masyarakat.
Berkenaan dengan Pasal 24 UUD 1945, Hamid berpendapat pasal tersebut membicarakan due process peradilan. Titik beratnya terletak pada kemerdekaan pengadilan dalam berproses menjatuhkan pidana. Ketika vonnis sudah dijatuhkan, dan dieksekusi oleh jaksa, dengan segera terpidana menjadi tanggung jawab dan berada di bawah kewenangan eksekutif. Dalam prakteknya, narapidana akan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan yang nota bene merupakan salah satu organ eksekutif.
Pakar hukum pidana Prof. Dr. Andi Hamzah yang dihadirkan sebagai ahli berpendapat senada dengan pemerintah. Bahwa wewenang atas remisi berapa di tangan eksekutif. Hal ini selaras dengan praktek hukum di beberapa negara Eropa, terutama Belanda yang sistem hukum pidananya diakomodir dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia.
Dalam persidangan hari ini (8/02) terungkap pula tidak berjalannya konsep Hakim Pengawas dan Pengamat (Kimwasmat) yang ditujukan sebagai bentuk keterlibatan yudikatif dalam pengawasan proses pembinaan narapidana oleh eksekutif. Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, berdasar pengalamannya berkarir sebagai hakim pengadilan umum, mendedahkan bahwa Kimwasmat tidak pernah benar-benar dilibatkan dalam pengambilan keputusan pemberian remisi kepada narapidana. (Mardian W.)