Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materu UU No. 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) dan UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) pada Selasa (17/2) siang dengan agenda Mendengarkan Keterangan Pemerintah dan DPR.
Agus Budi Wahyono, Staf Ahli Menteri Bidang Investasi dan Produksi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mewakili pihak Pemerintah menyampaikan pendapat, materi yang dimohonkan Pemohon yaitu Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (2) UU Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) saat ini tengah dilakukan uji materi melalui Perkara No. 12/PUU-XII/2014 tanggal 3 Februari 2014 dan perbaikan permohonan tanggal 14 Maret 2014 yang belum diputus perkaranya.
Terhadap materi muatan ayat, pasal dan atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali, kecuali dengan alasan lain atau berbeda. Baik Pasal 60 UU MK, Pasal 42 Peraturan MK No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian UU.
“Oleh karena itu menurut Pemerintah, Pemohon dalam menguraikan permohonannya Pemerintah tidak melihat adanya alasan lain atau berbeda dengan Perkara No. 12/PUU-XII/2014. Sehingga keterangan Pemerintah terhadap permohonan Pemohon mengenai undang-undang a quo berlaku mutatis mutandis atas keterangan Presiden Perkara No.12/PUU-XII/2014,” ungkap Agus.
Selain itu, menurut Pemerintah, keberatan Pemohon terhadap Peraturan Pemerintah (PP) tentang Iuran adalah bukan ranah Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskannya, melainkan kewenangan dari Mahkamah Agung. Pemerintah menilai, justru dengan ditetapkannya besaran iuran dalam PP lebih fleksibel daripada diatur dalam bentuk undang-undang karena apabila terjadi perubahan, undang-undang memerlukan waktu yang lama untuk melakukan penyesuaiannya.
Pemerintah juga menanggapi UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang dimohonkan Pemohon. Agus menjelaskan, UU Migas disusun dengan bertujuan agar terlaksana dan terkendalinya minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam. UU Migas juga bertujuan mendukung dan menumbuh-kembangkan kemampuan-kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing, serta eningkatkan pendapatan negara dan memberikan konstribusi-konstribusi yang sebesar-besarnya baik bagi perekonomian nasional, mengembangkan dan memperkuat industri, dan perdagangan Indonesia.
Agus melanjutkan, UU Migas memuat substansi pokok mengenai ketentuan minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia. Migas merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara dan penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan pada kegiatan usaha hulu. Sedangkan pada kegiatan usaha hilir dilaksanakan setelah mendapat izin usaha dari pemerintah.
Dalam menjalankan kuasa tersebut, agar fungsi pemerintah sebagai pengatur membina dan mengawasi dapat berjalan lebih efisien, menurut Agus, pada kegiatan usaha hulu perlu dibentuk badan pelaksana. Sedangkan pada kegiatan usaha hilir dibentuk badan pengatur yang selanjutnya disebut dengan badan pengatur hilir minyak dan gas bumi.
Seperti diketahui, Pemohon adalah PT. Gresik Migas. Pemohon menilai Pasal 2 ayat (3) frasa “ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah” dan Pasal 3 ayat (2) frasa “ditetapkan dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah” UU No. 20/1997 bertentangan Pasal 23A UUD 1945. Karena pemerintah atas perintah UU No. 20/1997 menerbitkan Peraturan Pemerintah yang mewajibkan Pemohon membayar sejumlah iuran setiap bulannya kepada BPH Migas.
Selain itu menurut Pemohon, Pasal 2 ayat (3) frasa “ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah” dan Pasal 3 ayat (2) frasa “ditetapkan dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah” UU No. 20/1997 bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Karena hingga saat ini Pemohon sebagai entitas yang taat hukum harus membayar sejumlah iuran kepada BPH Migas berdasaran Peraturan Pemerintah-Iuran.
Terhadap Pasal 48 ayat (2) pada frasa “sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” dan Pasal 49 pada frasa “dan Pasal 48” UU No. 22/2001, Pemohon berpendapat, hal tersebut bersifat multi interpretatif, melanggar asas lex certa/asas kejelasan rumus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. (Nano Tresna Arfana)