JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah dan DPR sepakat gelombang pertama pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak, digelar Desember 2015. Tahapan pilkada yang akan berlangsung di 271 daerah yang masa jabatan pemimpin daerahnya berakhir pada 2015 dan semester I-2016 itu, rencana dimulai pada Juni mendatang.
Kesepakatan itu diambil dalam rapat kerja Komisi II dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, serta Dewan Perwakilan Daerah, Senin (16/2/2015), di Jakarta.
Dalam rapat kerja itu juga disepakati, gelombang kedua pilkada diadakan pada Februari 2017 untuk kepala daerah yang akhir masa jabatan (AMJ) semester II-2016 dan 2017. Gelombang ketiga pilkada diadakan pada Juni 2018 untuk AMJ 2018 dan 2019. Adapun pilkada serentak nasional disepakati diadakan pada 2027.
Dengan demikian, ujar Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Gerindra Ahmad Riza Patria, langkah awal penyelenggaraan pilkada serentak dapat segera dimulai. Komisi Pemilihan Umum dapat segera membuat turunan peraturan dari UU Pilkada dalam bentuk Peraturan KPU (PKPU). "Pendaftaran bakal calon kepala daerah untuk pilkada gelombang pertama dapat dimulai pada bulan Juni," ujarnya.
Selain jadwal penyelenggaraan pilkada, rapat kerja kemarin juga menyepakati 12 poin revisi lainnya terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada. Poin revisi itu antara lain ambang batas kemenangan yang ditiadakan, penyelesaian sengketa hasil pilkada yang diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi, serta mekanisme pencalonan kepala daerah yang dilakukan secara paket bersama wakil kepala daerah.
Namun, F-PKB mengkritik keputusan DPR untuk menyelenggarakan pilkada serentak pada 2027. Anggota Komisi II dari F-PKB Abdul Malik Haramain mengatakan, penyelenggaraan pilkada serentak nasional sebaiknya dilakukan pada 2022.
Badan khusus
Terkait pembentukan lembaga khusus penyelesaian sengketa pilkada, Riza menargetkan badan itu sudah harus dibentuk dalam kurun waktu lima tahun. Dengan demikian, pada penyelenggaraan pilkada gelombang keempat tahun 2020, Mahkamah Konstitusi sudah tidak perlu lagi menangani sengketa hasil pilkada.
"Ke depan, badan khusus ini tidak hanya mengurusi sengketa hasil pilkada, tetapi semua sengketa yang berkaitan dengan pilkada, termasuk penetapan pasangan calon peserta pilkada," kata Riza.
Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat mengungkapkan, MK siap memeriksa dan mengadili sengketa pilkada yang akan dilaksanakan serentak pada tahun ini.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Jawa Timur, Widodo Ekatjahjana menduga, akan banyak persoalan hukum yang akan muncul jika DPR menyerahkan penyelesaian sengketa pilkada ke Mahkamah Agung. Misalnya, perdebatan mengenai perbedaan putusan MK yang final dan mengikat dengan putusan Pengadilan Tinggi yang tidak final dan mengikat dan dapat diajukan upaya hukum ke MA.
Menurut Widodo, persoalan juga akan muncul ketika hakim yang menangani perkara sengketa pilkada tidak memiliki spesialisasi dalam menangani perkara tersebut. Mereka harus belajar terlebih dahulu mengenai hukum acara sengketa dan juga mempelajari putusan-putusan sebelumnya.
Intinya, tambah Bambang, MK institusi yang paling tepat untuk menangani sengketa pilkada. Ketika DPR mengembalikan penanganan sengketa pilkada ke MK, MK seharusnya tak boleh menolak. "MK tidak boleh menguji ketentuan itu jika ada yang mengajukan uji materi. Itu akan jadi preseden buruk jika MK melakukannya," ujarnya. (ANA/AGE/WIE)