Direktur PT. Indiratex Spindo, Ongkowijoyo Onggowarsito mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ((UU Arbitrase) terkait aturan mengenai batas akhir penyerahan pendaftaran atau putusan Arbitrase Internasional. Sidang perbaikan permohonan ini digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (16/2) di Ruang Sidang MK. Perkara ini teregistrasi di Kepaniteraan MK dengan Nomor 19/PUU-XIII/2015.
Dalam perbaikan permohonan, Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Fahmi Bachmid menjelaskan telah memperbaiki permohonannya sesuai saran majelis hakim pada sidang sebelumnya. Pemohon menguraikan hak konstitusionalnya yang terlanggar di antaranya hak untuk menempuh pembatalan kepada putusan arbitrase internasional yang tidak pernah dapat dilakukan Pemohon. Hal ini berpotensi gugatan pembatalan secara formal tidak dapat diterima karena melebihi tenggang waktu 30 hari setelah putusan arbitrase didaftarkan di pengadilan negeri.
“Sebab Undang-Undang AAPS tidak mewajibkan Pengadilan Negeri Jakarta batas akhir memberitahukan kepada pihak-pihak atas adanya pendaftaran putusan arbitrase oleh arbiter atau kuasanya. Kerugian spesifik konkret atau kerugian konstitusional Pemohon akan pulih dan/atau berpotensi kerugian konkret seperti eksekusi sita bisa dihindarkan jika Mahkamah memberikan penafsiran dan pemberlakuan secara konstitusional bersyarat pada kedua pasal, yakni Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 71,” paparnya dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Selain itu, Pemohon juga memperbaiki petitum permohonannya terkait meminta agar Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 71 UU Arbitrase dinyatakan konstitusional bersyarat. Kedua pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Pasal Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 71 UU Arbitrase sesuai dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat, yaitu konstitusional sepanjang dimaknai putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat paling lambat 30 hari sejak tanggal putusan arbitrase dijatuhkan,” ujarnya.
Pemohon merupakan salah satu pihak yang diputus dalam putusan arbitrase internasional pada tanggal 14 Desember 2012, yakni putusan The International Cotton Association yang ada di Liverpool. Putusan tersebut didaftarkan pada tanggal 5 Mei 2014 di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun Pemohon baru mengetahui adanya pendaftaran tersebut pada tanggal 14 Agustus 2014. Pendaftaran dan penyerahan arbitrase internasional tanpa batas waktu, mengakibatkan ketidakpastian hukum karena pihak Pemohon pelaksanaan putusan arbitrase internasional bisa kapan saja memndaftarkan putusannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan bahkan ada yang didaftarkan bahkan lebih dari satu tahun setelah diputuskan oleh Lembaga Arbitrase Internasional.
Untuk itulah, dalam pokok permohonannya, Pemohon berkeberatan dengan berlakunya Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 71 UU Arbitrase terkait dengan ketentuan yang mengatur batas waktu penyerahan pendaftaran atau putusan Arbitrase Internasional. Pasal 67 ayat (1) menyatakan “Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sementara Pasal 71 menjabarkan tentang “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrasekepada Panitera Pengadilan Negeri”.
Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya, Fahmi M. Bachmid, menjelaskan telah terjadi ketidakpastian hukum dengan berlakunya Pasal 67 ayat (1). Hal itu karena tidak ada pengaturan mengenai batas akhir penyerahan pendaftaran atau putusan Arbitrase Internasional. Sedangkan pihak yang ingin melakukan permohonan pembatalan putusan Arbitrase Internasional dibatasi waktu 30 hari. Hal tersebut menurut Pemohon dinilai menyebabkan diskriminasi hukum bagi Pemohon yang bisa saja kehilangan hak untuk melakukan pembatalan Putusan Arbitrase dikarenakan pasal a quo tidak mensyaratkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk melakukan pemberitahuan adanya pendaftaran/penyerahan Putusan Arbitrase Internasional kepada pihak-pihak yang terlibat dalam arbitrase tersebut. (Lulu Anjarsari)