Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (Sekjen MK), Janedjri M. Gaffar secara langsung memberikan materi pembekalan untuk Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) MK pada Minggu (15/2) siang. Pemberian materi ini merupakan bagian dari seluruh rangkaian kegiatan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) CPNS MK yang dilaksanakan di Pusat Pembelajaran Resimen Induk Daerah Jayakarta (Rindam Jaya), Condet, Jakarta Timur. Materi yang disampaikan mencakup tataran teori maupun praktik, berhubungan dengan keberadaan MK.
Dalam tataran teori, Janedjri menyampaikan materi tentang landasan teori pembentukan MK, sejarah terjadinya judicial review dan paradigma MK dalam penegakan hukum. Terkait dengan landasan pembentukan MK, Janedjri menyatakan bahwa keberadaan MK dilandasi akan adanya dua paham kedaulatan yang dianut dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yakni kedaulatan rakyat (demokrasi) dan kedaulatan hukum (nomokrasi). Janedjri menjelaskan, MK hadir sebagai penyeimbang antara demokrasi dan nomorasi yang mana apabila demokrasi tidak diimbangi oleh hukum, akan menimbulkan anarkisme. Begitupun sebaliknya, jika hukum tidak diimbangi oleh demokrasi maka akan memunculkan otoritarianisme. “Oleh karenanya demokrasi itu harus diimbangi dengan nomorkasi, pemerintahan berdasarkan hukum, dalam kerangka itulah Saudara-Saudara, Mahkamah Konstitusi dihadirkan dalam sistem ketatanegaraan kita,” urai Janedjri.
Terkait kewenangan pengujian undang-undang, Janedjri mengatakan bahwa sejarah terjadinya judicial review di dunia berawal dari kasus Marbury versus Madison. Terilhami kasus itu, Hans Kelsen pada 1920 kemudian menggagas adanya sebuah organ yang dapat menguji apakah suatu produk hukum bertentangan atau tidak dengan konstitusi, agar ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat dijamin pelaksanaannya.
Lebih lanjut menurut Janedjri, di Indonesia sendiri perkembangan gagasan constitutional review sudah ada sejak sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada masa kemerdekaan 1945. Kala itu M. Yamin mengusulkan agar Balai Agung (sekarang Mahkamah Agung) diberi kewenangan untuk membanding undang-undang. Namun usul tersebut tidak disetujui oleh Soepomo, dengan alasan antara lain karena Undang-Undang Dasar yang disusun tidak menganut trias politika dan masih belum banyak sarjana hukum yang bisa menjalankan sistem sebagaimana dimaksud oleh M. Yamin. “Tapi gagasan sampai tataran ide itu (pengujian unang-undang) sudah muncul ketika di sidang BPUPK,” papar Janedjri.
Penuhi Rasa Keadilan
Selain menjelaskan sejarah tentang MK, peraih gelar doktor ilmu hukum Universitas Diponegoro itu juga memaparkan tentang paradigma MK dalam penegakan hukum. Janedjri mengatakan bahwa Negara Indonesia menganut negara hukum yang prismatis, yakni menggabungkan segi-segi positif antara rechtstaats dengan kepastian hukumnya, dan rule of law dengan rasa keadilannya. Dalam konteks ini, Janedjri menyatakan bahwa banyak putusan MK yang tidak hanya mendasarkan pada sekedar perintah undang-undang, tetapi lebih kepada bagaimana putusan itu dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. “Banyak sekali Putusan MK itu tidak hanya mendasarkan, tidak hanya tunduk pada sekadar perintah undang undang, karena batu ujinya adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar, tetap lebih kepada bagaimana putusan itu dapat memnhui rasa keadilan yang terdapat di tengah-tengah masayarakat” tutur Janedjri.
Dalam sesi tanya jawab, salah satu CPNS MK, Ganggas Wibisono, menanyakan apakah demokrasi merupakan satu-satunya faktor dibentuknya MK. Menjawab pertanyaan itu, Janedjri mengatakan bahwa meskipun demokrasi bukan satu-satunya sistem yang terbaik, namun jika dipahami, demokrasi mempunyai kelemahan yang paling sedikit dibandingkan dengan sistem yang lainnya, sehingga negara-negara yang sudah memutuskan demokrasi sebagai sistemnya, maka negara itu membentuk MK. “Ketika sebuah negara sudah melakukan pilihan, dia (negara-red) akan mewujudkan negaranya menjadi negara yang demokratis. Maka berangkat dari pemahaman bahwa sistem itu tidak ada yang sempurna, termasuk demokrasi itu sendiri sekalipun, dia harus membentuk Mahkamah Konstitusi,” kata Janedjri.
Namun demikian, papar Janedjri, hal tersebut tidak berarti dapat disimpulkan bahwa negara-negara yang tidak mempunyai MK adalah negara yang tidak demokratis. “Karena meskipun negara tersebut tidak mempunyai MK, namun masih terdapat fungsi MK yang terintegrasi ke dalam sistem peradilannya,” tegasnya.
Sementara itu, dalam tataran praktik, Janedjri menyampaikan bahwa dalam proses pendaftaran perkara, persidangan hingga putusan, terdapat celah terjadinya praktik jual beli waktu, kesempatan dan keadilan. Adapun penyebabnya adalah adanya ketidaktahuan dan ketidakjelasan terkait dengan prosedur, waktu dan biaya. “Ketidaktahuan, ketidakjelasan prosedur, waktu, biaya, itu bisa berakibat atau menyebabkan masyarakat membeli waktu, membeli kesempatan dan membeli keadilan” papar Janedjri.
Adanya kelemahan itulah yang kemudian melandasi pentingnya mewujudkan MK sebagai peradilan yang unggul (court excellence). Dalam mewujudkannya, Janedjri menyampaikan terdapat tujuh area untuk mewujudkan MK sebagai peradilan yang unggul, yakni manajemen dan kepemimpinan lembaga, kebijakan, sumber daya, proses, kebutuhan dan kepuasan dari masyarakat, pelayanan lembaga peradilan yang mudah dijangkau dan diakses, keyakinan dan kepercayaan masyarakat. “Inilah Saudara-Saudara yang harus kita garap, yang kita sebut dengan tujuh area untuk mewujudkan MK ini sebagai peradilan yang excellence,” kata Janedjri.
Mengakhiri penyampaian materi, Janedjri menegaskan bagaimana profil pegawai yang diharapkan oleh MK, yakni pegawai yang inisiatif, kreatif, inovatif, produktif dan prefesional. Sekjen MK ini pun menyampaikan harapannya agar para CPNS MK selalu mengintrospeksi diri dalam menjalankan tugasnya.“Anda harus selalu introspeksi, apakah memang sudah benar tugas saya (CPNS: red) seperti ini, ya,” pungkas Janedjri.(Triya IR).