Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kedua perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pada Rabu (11/2). Kuasa hukum Pemohon, Habiburokhman menyampaikan poin-poin perbaikan sesuai nasihat panel hakim pada sidang pendahuluan.
Di hadapan panel hakim yang diketuai Maria Farida Indrati, Habiburokhman mengatakan salah satu perbaikan yang dilakukan yaitu perbaikan pada judul permohonan. Bila sebelumnya permohonan ini ditulis sebagai permohonan uji materil diubah menjadi permohonan Pengujian Undang-Undang MD3. Sebab, dalam permohonan ini tidak hanya menyangkut uji materil namun juga menyangkut pengujian formil UU MD3.
Selain itu, perbaikan juga dilakukan pada poin legal standing. Habiburokhman mengatakan telah melakukan perubahan yang cukup signifikan dengan menunjukkan alasan kuat agar Pemohon dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan ini. Perbaikan lainnya juga dilakukan pada petitum permohonan dengan menambahkan petitum terkait permohonan uji formil. “Di petitum kami juga melakukan perubahan dengan memasukkan petitum terkait uji formil,” ujar Habiburokhman selaku kuasa hukum dari Abu Bakar.
Sebelumnya, Abu Bakar merasa haknya untuk hidup sejahtera tidak tercapai akibat adanyan UU a quo. Menurut Pemohon, UU MD3 tersebut telah mengakibatkan DPR sebagai lembaga negara tidak bisa melaksanakan fungsinya dengan baik, terutama dalam konteks melaksanakan haknya, melaksanakan fungsinya, mengajukan hak interplasi, dan hak menyatakan pendapat. Dengan kata lain, Pemohon mengatakan DPR tidak berfungsi dengan baik. Sehingga, dapat dipastikan DPR tidak bisa mengawasi penyelenggaraan negara oleh pemerintah. Ujung-ujungnya, kesejahteraan rakyat yang juga merupakan hak konstitusional Pemohon menjadi terganggu.
Selain itu, Pemohon menganggap lahirnya UU MD3 semata-mata akibat kepentingan politik. Pemohon melihat ketika UU a quo disahkan tanpa adanya perubahan apa pun di masyarakat. Terlebih, UU a quo diubah tanpa dilengkapi dengan naskah akademik. “Tidak ada alasan akademis pun yang bisa dipertanggungjawabkan dalam perubahan ini. Nah oleh karena itu, Pasal 22A UUD 1945 menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan peraturan perundang-undangan ditentukan oleh undang-undang berarti perubahan ini melanggar banyak prinsip dalam undang-undang dimaksud,” ujar Habiburokhman pada sidang pendahuluan yang digelar pada 28 Januari 2015 lalu.
Sementara itu, dalam konteks uji materiil, Pemohon menganggap perubahan tersebut mengakibatkan DPR tidak dapat lagi maksimal melaksanakan fungsinya hingga berujung tidak tercapainya kesejahteraan warga negara Indonesia. (Yusti Nurul Agustin)