Sidang permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) kembali digelar dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli Pemohon, pada Selasa (10/2) siang. Dalam sidang ini, Pemohon menghadirkan dua orang ahli, yakni M. Ali Safaat dan Marius Widjajarta. Sedangkan dua orang saksi yang dihadirkan yakni Dodi dan Didik Priyo Utama.
Dalam keterangan ahlinya, Marius menyoroti tentang permasalahan dalam peraturan jaminan sosial dan kelembagaan dalam UU BPJS, yang kemudian dianggap menghilangkan tanggung jawab negara dalam mengembangkan sistem jaminan sosial. Marius menyatakan bahwa terjadi kesalahan dalam menerapkan asas gotong royong dalam memberikan jaminan sosial. “Terjadi kesalahan pelaksanaan asas kegotong-royongan, karena terjadi subsidi silang. Dana penerima bantuan iuran diberikan untuk non-penerima bantuan iuran guna membayar tagihan klaim, sehingga dana sekarang, saat ini habis di akhir 2014,” papar Marius, yang juga Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia. Marius juga menambahkan, adanya peran Kementerian Kesehatan dan kementerian BUMN untuk mengurusi BPJS menjadikan adanya rangkap antara pembentuk dan pelaksana peraturan, sehingga memungkinkan terjadinya tindakan yang tidak benar.
Sedangkan M. Ali Safaat, yang juga dihadirkan sebagai ahli, menyatakan terdapat dua isu utama untuk menilai konstitusionalitas UU BPJS. Pertama terkait dengan persoalan sistem, yakni sistem jaminan sosial yang dipilih, dan kedua terkait dengan kelembagaan penyelenggaraan jaminan sosial. Ali menegaskan MK pernah menyatakan bahwa sistem jaminan sosial yang terdapat dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial (UU SJSN) yang kemudian melahirkan UU BPJS, adalah konstitusional. Namun, Ali mempermasalahkan penerapan sistem itu, dimana dalam UU SJSN dinyatakan sistem jaminan sosial dilaksanakan oleh beberapa badan, tetapi kemudian dalam UU BPJS dinyatakan dilaksanakan oleh satu badan. Ali juga menganggap bahwa adanya badan tersendiri dalam penyelenggraan jaminan sosial yang terpisah dari pemerintah, bisa dimaknai negara melepaskan kewajiban untuk memberikan jaminan sosial.
“Karena badan penyelenggara jaminan sosial ini adalah badan hukum tersendiri, begitu, jadi terpisah dari entitas pemerintah itu, apakah ini tidak bisa dimaknai, lalu negara menyerahkan kewajibannya untuk memenuhi hak setiap warga negara, untuk memperoleh jaminan sosial itu, kepada badan hukum yang berbeda. Saya bisa membayangkan ini seperti, katakanlah pada saat negara melimpahkan hak penguasaannya atas sumber daya alam kepada BP Migas pada saat itu, yang itu juga menjadi persoalan konstitusional” urai Ali, yang juga menjadi Dosen di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Ali menambahkan bahwa hal ini akan sangat berbahaya, karena negara hanya akan berpartisipasi membayar kepada peserta yang memang tidak ditanggung oleh BPJS, karena tidak mampu. Sedangkan proses bisnis yang ada di dalam BPJS itu sendiri sudah terlepas dari entitas negara. “Kemudian, lalu muncullah kasus-kasus, misalnya, yang tadi disampaikan ada penderita yang membutuhkan biaya yang sangat besar, yang itu, ya menurut aturan internal Badan BPJS ini tidak bisa ditanggung, negara tentu saja bisa menolak pada saat itu, karena kewajibannya sudah diwujudkan dalam bentuk membuat badan hukum tersendiri, jadi seperti melepaskan kewajiban yang sudah diamanatkan oleh konstitusi” papar Ali.
Kemudian yang cukup penting menurut Ali, terkait dengan pengenaan sanksi administratif yang tidak hanya kepada pemberi kerja, tetapi juga kepada warga negara. Menurutnya, hal ini cukup fatal karena jaminan sosial kepada warga negara itu adalah hak, sedangkan kewajibannya dipegang oleh negara, sehingga warga negara sebagai pemegang hak tidak bisa dikenai sanksi.
Menangggapi keterangan itu, Pemerintah yang juga menghadiri sidang menanyakan kepada ahli Pemohon terkait pemberian sanksi terhadap pemberi kerja, di mana pihak pemerintah beranggapan bahwa sanksi itu ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada pekerja.
Menanggapi pertanyaan dari pihak pemerintah, Ali menyatakan bahwa yang menjadi persoalan dalam pemberian sanksi yakni sanksi bukan hanya diberikan kepada pemberi kerja, namun juga kepada pekerja dan warga negara. Terkait sanksi yang diberikan kepada pemberi kerja, Ali menganggap hal itu berlebihan. “Kepada pemberi kerja, persoalannya juga, sanksi tidak hanya terkait dengan usaha dan hubungan kerjanya, tetapi juga terkait dengan hak keperdataan, karena disitu dalam penjelasannya juga disebutkan terkait dengan hak pertanahan kalau tidak salah, itu yang menjadi persoalan yang menurut Saya cukup berlebihan terkait dengan sanksi itu,” papar Ali.
Sementara itu, Ketua MK Arief Hidayat juga menanyakan terkait permasalahan kelembagaan dalam UU BPJS. “Dari Pasal 15, Pasal 16, kemudian pasal 17, undang-undang yang kita perbincangkan ini, apakah ahli menangkap bahwa memang satu satunya lembaga itu BPJS, ataukah bisa dimungkinlan ada lembaga lain yang menangani, masalah jaminan sosial kesehatan ini”, kata Arief.
Menjawab pertanyaan tersebut, Ali menyatakan bahwa walaupun dalam UU BPJS tidak pernah menyebutkan bahwa BPJS sebagai badan, tetapi apabila ditinjau secara sistematis dari keseluruhan isi undang-undang, ada prinsip kepesertaan yang bersifat wajib. Kepesertaan yang bersifat wajib itu berarti bahwa seseorang hanya bisa ikut dalam jaminan sosial, kalau orang itu menjadi peserta BPJS. “Menjadi persoalan ketika untuk mengikuti, atau menjadi peserta itu, hanya bisa dilakukan dengan cara mendaftarkan diri ke BPJS. Ini kan berarti saya hanya bisa ikut dalam program jaminan sosial, kalau saya menjadi pesertanya BPJS. Selain itu, ya berarti tidak bias,” urai Ali. (Triya IR)