Dalam rangka membuka cakrawala berpikir mahasiswa hukum yang tergabung dalam Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi), DPC Permahi DKI Jakarta mengadakan kunjungan ilmiah ke MK pada Senin (6/2). Rombongan sekitar 70 orang mahasiswa ini diterima dan disambut dengan hangat oleh Ketua MK Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. didampingi Sekjen MK Janedjri M. Gaffar. Acara tersebut terbagi dalam dua sesi, sesi pertama diisi oleh Ketua MK Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., dan sesi kedua oleh tenaga ahli MK Dr. Taufiqurrohman Syahuri, S.H., MH., Kapuslitka Winarno Yudho, S.H., MA, dan Kabiro Humas dan Protokol Drs. Lukman El-Latief, M.Si.
Dengan mengusung tema Mengenal Mahkamah Konstitusi Lebih Dekat, Chairuddin, Wakil Ketua Bidang Litbang Permahi Jakarta dalam perkenalannya mengatakan bahwa kunjungan ilmiah itu dimaksudkan agar para mahasiswa yang tergabung dalam Permahi Jakarta mendapatkan pengetahuan yang lengkap dan jelas tentang MK. Setelah mengadakan kunjungan ilmiah ke MK, kami akan menerbitkan buku tentang MK, kata Chairuddin.
Dalam kesempatan itu, Prof. Jimly menyambut baik kedatangan para mahasiswa yang tergabung dalam Permahi Jakarta untuk mengenal MK lebih dekat dalam rangka menambah pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, lanjut Jimly, MK akan terus mengembangkan Pusat Studi Konstitusi atau Pusat Kajian Konstitusi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, agar terbangun jaringan ilmiah dan informasi hukum yang baik. Bahkan Prof. Jimly merencanakan akan membangun perpustakaan hukum yang besar di area gedung MK yang kini sedang dibangun. Agar menjadi standar perpustakaan hukum di Indonesia, katanya.
Lebih jauh Prof, Jimly menjelaskan bahwa pasca amandemen UUD 1945, kehadiran MK dalam sistem ketatanegaraan RI merupakan bukti adanya supremasi konstitusi. Dulu kita menganut supremasi MPR, sekarang supremasi konstitusi, ujarnya. Namun demikian, Prof. Jimly juga mengingatkan oleh karena MK sebagai lembaga negara baru, masih banyak orang atau pihak yang belum mengenalnya. Bahkan, imbuhnya, ada juga sarjana hukum yang masih mempertanyakan pentingnya MK dalam sistem ketatanegaraan RI. Ada juga sarjana hukum yang bergelar profesor masih mempertanyakan apa pentingnya MK, tandas Jimly.
Menjawab pertanyaan, Kapuslitka Winarno Yudho, S.H, MA memaparkan bahwa pemilihan hakim konstitusi melalui Presiden, DPR, dan MA tetap akan menjamin independensi para hakim. Hal ini, menurutnya, karena hakim kontitusi yang berstatus pegawai negeri sipil harus melepaskan status PNS-nya begitu terpilih menjadi hakim konstitusi. Independensi hakim konstitusi tak perlu diragukan, katanya. Selain itu, dengan membandingkan MK di negara lain, Winarno berharap agar ke depan MKRI dapat semakin meningkatkan kinerjanya, khususnya dalam melayani constutional complaint.
Sementara itu, Dr. Taufiqurrohman Syahuri, S.H., MH dalam perspektif historis menjelaskan tentang pembentukan MK. Menurutnya, terbentuknya MK dalam sistem ketatanegaraan RI pasca amandemen UUD 1945 menunjukkan betapa Presiden, DPR, dan MA telah berpikir jernih dalam memilih hakim konstitusi yang pertama. Mereka yang terpilih menjadi sembilan hakim konstitusi adalah sosok hakim yang berkualitas, kata Taufiq. (WS. Koentjoro)