Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menerima kunjungan para mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Sumpah Pemuda, Palembang, pada Senin (9/2) siang di aula Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Pada kesempatan itu Maria menyampaikan memberikan kuliah berjudul “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan RI”.
Mengawali pertemuan, Maria menyampaikan gagasan munculnya constitutional review di Indonesia sejak masa perjuangan. Kala itu Moh. Yamin dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) mengusulkan Balai Agung (Mahkamah Agung) perlu diberi wewenang untuk membanding undang-undang (UU).
“Namun Soepomo tidak setuju karena UUD yang disusun tidak menganut sistem trias politica. Selain itu pada masa itu belum banyak sarjana hukum yang memiliki pengalaman membanding UU,” jelas Maria.
Bertahun-tahun kemudian, sekitar tahun 1970-an Ikatan Sarjana Hukum mengusulkan agar Mahkamah Agung diberi kewenangan menguji UU. Tetapi usul tersebut belum bisa terwujudkan. Barulah pada era reformasi, terjadi amandemen UUD 1945, soal pengujian UU kembali diusulkan. Hingga dibentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada 13 Agustus 2003.
Terkait pengujian UU disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Disinggungnya Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pasal tersebut, dipertegas lagi pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Sedangkan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.” Keseluruhan isi Pasal 24C UUD 1945 mencakup empat kewenangan dan satu kewajiban MK. Hal ini diperkuat dengan isi Pasal 10 UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyebut secara gamblang wewenang dan kewajiban MK.
Maria juga menerangkan terjadinya perkembangan wewenang MK. Dalam pertimbangan hukum Putusan No. 138/PUU-VII/2009, MK berwenang menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu): “ … Oleh karena dapat menimbulkan norma hukum yang ketentuan mengikatnya sama dengan undang-undang, maka terhadap norma yang terdapat dalam Perpu tersebut, Mahkamah dapat menguji apakah bertentangan secara materil dengan UUD 1945.”
Selain itu, ungkap Maria, berdasarkan Pasal 236C UU No. 12/2008 tentang Perubahan UU Pemerintahan Daerah, MK diberi pelimpahan wewenang untuk mengadili sengketa pemilukada. Namun, kemudian ketentuan telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan No. 97/PUU-XI/2013. (Nano Tresna Arfana)