“Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua Pleno Arief Hidayat yang didampingi para hakim konstitusi lainnya pada sidang pengucapan putusan pengujian UU No. 18/2003 tentang Advokat pada sidang Mahkamah Konstitusi, Kamis (5/2) sore.
Sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah perlu mengutip Pasal 54 UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden” dalam melakukan pengujian atas suatu undang-undang.
Dengan kata lain, Mahkamah dapat meminta atau tidak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden, tergantung pada urgensi dan relevansinya. Oleh karena permasalahan hukum dan permohonan a quo cukup jelas, Mahkamah akan memutus permohonan a quo tanpa mendengar keterangan dan/atau meminta risalah rapat dari MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden;
Menurut Mahkamah, karakteristik pengujian formil berbeda dengan pengujian materil, sehingga terhadap pengujian formil perlu diberikan pembatasan waktu dalam hal pengajuan permohonannya, agar terdapat kepastian hukum, karena pengujian formil dapat menyebabkan suatu undang-undang dinyatakan batal sejak dari awal. Terhadap jangka waktu permohonan pengujian formil, Mahkamah dalam Putusan No. 27/PUU-VII/2009 bertanggal 16 Juni 2010 telah memberikan batasan waktu yaitu 45 hari setelah undang-undang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia sebagai tenggat untuk mengajukan pengujian formil.
Sampai saat ini, Mahkamah masih tetap berpendirian sama sebagaimana pertimbangan di atas, sehingga batasan waktu untuk permohonan pengujian formil adalah 45 hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Atas dasar pertimbangan di atas, permohonan pengujian formil yang diajukan oleh para Pemohon telah lewat waktu sehingga dinyatakan tidak dapat diterima.
Pada sidang pemeriksaan pendahuluan, para pemohon, Maryanto, Abraham Amos dan Johni Bakar yang berprofesi sebagai advokat, mendalilkan bahwa keseluruhan materi pasal dan ayat dalam UU No. 18/2003 tentang Advokat dipandang sangat berimplikasi diskriminatif. UU Advokat dianggap melanggar hak konstitusional para Pemohon dan para advokat lainnya yang diperlakukan secara tidak adil, terutama sekali pelecehan eksistensi dan karakter dan telah memperkosa hak asasi manusia yang sangat merugikan status para Pemohon dan para advokat pada umumnya. Untuk itu, para pemohon menganggap pembahasan dan pengesahan peraturan UU No. 18/2003 bertentangan dengan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, sekaligus bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 angka (5) UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga pemberlakuan pengesahan UU Advokat a quo dipandang cacat hukum untuk seluruhnya.
Selain itu, menurut Pemohon, sejak diberlakukan, UU Advokat secara faktual dan aktual sama sekali tidak menciptakan suasana harmonis dan kondusif, sebaliknya telah banyak memunculkan pertikaian dan perselisihan para advokat yang cenderung memecah-belah eksistensi organisasi advokat dan terperangkap di dalam suasana yang carut-marut untuk menjalankan tugasnya sebagai advokat yang berprofesi mulia. (Nano Tresna Arfana)