Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (4/2). Perkara yang teregistrasi Nomor 20/PUU-XII/2015, diajukan oleh Abda Khair Mufti, Agus Humaedi Abdillah, Muhammad Hafidz, Chairul Eillen Kurniawan, Ali Imron Susanto, Mohamad Robin, Riyanto, Havidh Sukendro dan Wawan Suryawan. Sidang perdana yang bertempat di Ruang Sidang Pleno MK, Pemohon menyampaikan alasan permohoan, baik pengujian formil maupun materiil.
Salah seorang Pemohon, Muhammad Hafidz, mengungkapkan bahwa penggunaan hukum acara perdata dalam Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) telah menimbulkan ketidakadilan bagi buruh. Selain itu, keberadaan PHI yang menerapkan hukum acara perdata dengan model penyelesaian sengketa berdasarkan gugatan contentiosa tanpa melibatkan unsur pemerintah mengakibatkan buruh kehilangan hak-haknya dan kehilangan perlindungan dari negara.
“Keberadaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 telah melanggar ketentuan Pasal 5 huruf d dan huruf f, serta Pasal 6 ayat (1) huruf i Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya asas dapat dilaksanakan, asas kejelasan rumusan dan asas ketertiban dan kepastian hukum,” kata Hafidz di hadapan Majelis Sidang Panel yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman. Berdasarkan alasan itu, Hafidz menegaskan bahwa pembentukan UU PPHI bertentangan dengan norma-norma yang terdapat dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Terkait dengan materi dalam UU a quo, Hafidz mendalikan bahwa pengaturan pemutusan hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 81 UU PPHI akan menghilangkan kewajiban pengusaha untuk mengajukan gugatan pemutusan hubungan kerja ke PHI. Hal ini menurut Hafidz akan menyebabkan buruh yang kehilangan jaminan dan kepastian hukum atas hubungan kerjanya pada akhirnya dipaksa dan terpaksa untuk mengajukan gugatan. Padahal, tambahnya, buruh mempunyai banyak keterbatasan sumber daya dan pendanaan karena secara ekonomis buruh mempunyai posisi yang lemah jika dibandingkan dengan pihak pengusaha
Lebih lanjut Hafidz menyatakan, pengaturan pemutusan hubungan kerja melalui gugatan contentiosa, sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 justru menghilangkan kewajiban pengusaha yang sesungguhnya berinisiatif untuk melakukan pemutusan hubungan kerja. Karena apabila pengusaha tidak mengajukan gugatan pemutusan hubungan kerja ke pengadilan hubungan industrial, maka buruh akan kehilangan jaminan perlindungan dan kepastian hukum atas hubungan kerjanya. “Sehingga buruh pada akhirnya dipaksa dan terpaksa mengajukan gugatan,” tegas Hafidz.
Berdasarkan pendapat tersebut, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Pasal 81 UU PPHI dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai gugatan perselisihan hubungan industrial dikecualikan perselisihan pemutusan hubungan kerja harus dengan permohonan diajukan kepada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja atau buruh bekerja.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Panel Hakim Konstitusi memberikan masukan dan saran bagi para Pemohon. Wakil Ketua MK Anwar Usman mengingatkan bahwa pengujian formil atas suatu undang-undang memiliki batas waktu pengujian, yaitu 45 hari sejak diundangkan. “Nah, mengenai pengujian formil itu sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi ya, nanti bisa dicek, ya. Batas waktunya sampai 45 hari sejak diundangkan, ya. Saya enggak tahu, apakah Saudara mampu mencari alasan hukum yang kuat, sehingga Mahkamah bisa menerobos putusan itu,” ujar Anwar Usman.
Sementara Hakim Konstitusi Aswanto, selain mengingatkan soal batas waktu pengujian formil, juga menyarankan agar Pemohon lebih menguraikan tentang kerugian konstitusional yang dialaminya.
“Saudara sudah mengurai Saudara warga negara Indonesia dan seterusnya yang merasa dirugikan. Tetapi yang belum Saudara elaborasi itu adalah kerugian Saudara apa? Itu yang harus diurai lebih detail. Dan di dalam Undang-Undang MK sudah ditegaskan Pasal 51 bahwa kerugian yang dimaksud itu adalah kerugian atau potensi kerugian konstitusional. Apa kerugian konstitusional Saudara dengan berlakunya norma yang ada pada Pasal 81?” tanya Aswanto.
Namun Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna lebih tegas menyarankan agar Pemohon mencoret pengujian formil sehingga lebih fokus pada pengujian materiil. “Kalau boleh dinasihatkan, dicoret sajalah pengujian formil itu, gitu ya. Sehingga Anda fokus ke pengujian materiilnya,” ujar Palguna. (Triya IR)