Pemerintah dan DPR menyampaikan keterangannya terhadap permohonan Pengujian Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dimohonkan oleh PT Papan Nirwana, PT Cahaya Medika Health Care, PT Ramamuza Bhakti Husada, PT Abdiwaluyo Mitrasejahtera, Sarju, dan Imron Sarbini, Senin (2/2) di Ruang Sidang Pleno MK. DPR yang diwakili oleh Arsul Sani menyampaikan ketentuan wajib daftar BPJS tidak langgar hak konstitusionalitas Pemohon. Sedangkan Pemerintah yang diwakili oleh Tri Tarayati selaku Staf Ahli Menteri Bidang Medikal Legal Menteri Kesehatan mengatakan UU BPJS tidak timbulkan monopoli penyelenggaraan jaminan kesehatan.
Mengawali keterangannya, Arsul mengatakan UUD 1945 telah mengamanatkan tujuan negara yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tujuan tersebut semakin dipertegas dengan mengembangkan sistem jaminan sosial bagi kesejahteraan seluruh rakyat sesuai amanat Pasal 28H dan Pasal 34 UUD 1945. Arsul juga mengatakan melalui program jaminan sosial diharapkan seluruh penduduk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak bila terjadi menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut atau pensiun. Untuk melaksanakan program tersebut, maka ditetapkan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) yang menganut prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, portabilitas, kepesertaan wajib, dan prinsip dana amanat.
Untuk melaksanakan jaminan sosial secara nasional berdasarkan prinsip-prinsip tersebut di atas, Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 UU SJSN memerintahkan kepada negara untuk membentuk BPJS. Sebab, beberapa program yang telah dibentuk pemerintah seperti Jamsostek dan Taspen dianggap baru mencakup sebagian kecil masyarakat sekaligus belum mampu memberikan perlindungan yang adil dan memadai kepada para peserta.
Sementara itu terkait dengan dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalnya norma yang mewajibkan perusahaan mendaftarkan pekerja/karyawan ke BPJS, Asrul mengatakan hal tersebut bukan permasalahan konstitusionalitas. Selain itu, DPR juga berpendapat bahwa kata “wajib” yang terdapat di dalam 15 ayat (1) dan ayat (2) UU BPJS tidak menghilangkan hak Pemohon untuk ikut serta dalam penyelenggaraan jaminan sosial lainnya selain BPJS.
Sedangkan terkait sanksi administratif kepada perusahaan yang tidak mendaftarkan kepesertaan BPJS bagi pekerjanya menurut DPR hal tersebut tidak menimbulkan diskriminasi. Sebab pemberian sanksi semata-mata agar pemberi kerja selain penyelenggara negara (perusahaan swasta, red) dan setiap orang selain pemberi kerja, pekerja, dan penerima bantuan iuran menaati kewajibannya sekaligus untuk melindungi hak-hak pekerja dalam kepesertaan program jaminan sosial.
DPR dalam kesempatan yang sama juga menjawab dalil Para Pemohon mengenai adanya penguasaan tunggal atau monopoli dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan oleh BPJS. Monopoli pemerintah lewat BPJS dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan justru bentuk keharusan karena kontribusi jaminan sosial sesungguhnya sama dengan pajak. Penyelenggaraan jaminan sosial merujuk Pasal 34 UUD 1945 bukanlah domain usaha bisnis seperti yang dilakukan swasta. Terlebih, penyelenggaraan jaminan sosial adalah tugas dan tanggung jawab negara seperti halnya pengelolaan pajak yang juga wajib dan besarannya proporsional terhadap upah atau gaji. “Penyelenggaraan yang bersifat monopolistik adalah sah dan memang harus dilakukan pemerintah untuk jasa atau pelayanan yang menyangkut kepentingan seluruh rakyat,” ujar Arsul sembari mengutip putusan Mahkamah Nomor 07 Tahun 2014.
Swasta Ikut Serta
Hal senada juga disampaikan Tri Tarayati selaku Staf Ahli Menteri Bidang Medikal Legal Menteri Kesehatan yang membacakan keterangan presiden. Tri mengatakan Konstitusi mengamanatkan diselenggarakannya jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Tidak hanya di dalam Konstitusi RI, jaminan sosial juga dijamin dalam deklarasi perserikatan bangsa-bangsa tentang hak asasi manusia tahun 1948 dan ditegaskan dalam konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 yang menganjurkan semua negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja. Oleh karena itulah melalui TAP MPR Nomor 10/MPR/2001, presiden ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional sebagai program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat.
Terkait norma yang mewajibkan mendaftar kepesertaan BPJS, menurut Pemerintah telah sesuai dengan amanat Konstitusi yang mewajibkan negara untuk memberikan jaminan sosial. Pasal 15 Undang-Undang BPJS tersebut juga dianggap telah memberikan kepastian kepada pekerja untuk memperoleh manfaat dari jaminan sosial khususnya jaminan kesehatan dalam memenuhi kebutuhan dasar bagi kehidupan yang layak.
Bila dirasa BPJS kurang memberikan jaminan pelayanan kesehatan, Tri mengatakan pemberi kerja dapat menggunakan badan lainnya atau badan swasta. Dengan kata lain, Tri menjelaskan badan penyelenggara jaminan kesehatan swasta tetap dapat berpartisipasi dalam memberikan manfaat tambahan dalam pelayanan kesehatan. “Oleh karena itu, Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan dari para Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang BPJS bersifat monopoli terhadap penyelenggaraan layanan kesehatan karena menurut Pemerintah pada prinsipnya jaminan sosial merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian, perlindungan, dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tukas Tri. (Yusti Nurul Agustin)